Pages

10 September 2008

Terbit Untuk Kembali



“Ca, tunggu ca!” teriakku dengan nafas terengah, setelah turun dari panggung.
Tak ada respon, Aku berjalan setengah berlari.
“Ca, berhenti dong…” tanyaku saat berhasil menghadang langkah seorang perempuan berambut panjang terurai sebahu di hadapanku.
Ia berhenti, sesaat menatap mataku, kemudian tertawa.
“Ah kamu Din, pasti salah lagi deh. Ini Aku Ida, kalo kak Ica tuh lagi duduk di situ!” tunjuk Alida yang biasa dipanggil Ida ke salah satu kursi dekat pintu keluar.

Fokus mataku mengikuti arah telunjuk Alida. Di sana Ica duduk sambil melambaikan tangan ke arahku. Aku menggaruk kepala yang tak gatal, tertawa garing atas kebodohanku untuk kesekian kalinya. Ida adalah adik kembar dari Ica. Kesalahan ini semakin sering kulakukan setelah Ica berubah lebih cantik seperti adiknya. Aku mengangguk kecil, lalu melewati dua orang teman Alida yang ada di sebelahnya ke tempat Ica. Langkahku agak tertahan oleh keramaian di dalam gedung pertemuan. Acara pelepasan siswa kelas tiga baru saja selesai.

Aku melewati siswa yang foto bersama keluarganya. Tapi ada juga siswa-siswi yang bergerombol untuk foto dalam satu gank mereka. Keluargaku sudah pulang sedari tadi. Setelah berfoto denganku dan keluarga Ica, mereka pulang cepat karena ada hal yang harus dibereskan.

Keringat sedari tadi membasahi pakaianku. Air conditioner yang terpasang di gedung ini seakan tak mampu mengalahkan hawa panas tubuh manusia yang terjejal berbagai rasa di dalamnya. Mereka termasuk pula aku, pasti pada dasarnya merasa senang dengan kelulusan dari SMA ini. Tapi ada juga terselip rasa sedih akan kehilangan teman atau seseorang yang kita cintai saat sekolah. Atau mungkin ada perasaan belum siap menghadapi persaingan dunia kuliah dan kerja selepas dari sini.

“Kamu lelah ya?” Ica, yang bernama lengkap Alicia Wardhani berdiri menghampiriku ketika Aku sudah berada di dekatnya.
Ia mengeluarkan sapu tangan dari saku dan mengelap keringat dari dahiku. Tinggi tubuh kami yang hampir sama, membuat mataku dapat menatap lurus ke arahnya. Aku memandang mata bulat yang selalu berbinar jika tersenyum itu tanpa berkedip. Rasanya, tak sanggup jika harus kehilangan pemiliknya.
“Lumayan.” Jawabku singkat.
Aku menurunkan tangan Ica setelah lama kunikmati perhatian darinya. Sebenarnya bukan apa-apa, tapi gengsi aja kalau anak band sepertiku terlihat terlalu manja. Acara perpisahan ini sallah satu hiburannya diisi oleh performance band dari tiap kelas tiga. Aku menjadi salah satu personell dari band kelas. Band kami pula ditunjuk menjadi penutup. Jadi aku memainkannya sepenuh hati sebelum melepas indahnya masa SMA.
“Kita pulang yuk,” pinta Ica, memasukan sapu tangan ke dalam saku tanpa ekspresi tersinggung dari sikapku tadi.
“Tunggu Ca, Aku mau bicara sama kamu sebentar ya?” Ucapku tanpa meminta persetujuannya, langsung menarik tangan Ica menuju ke luar gedung ini.

Berjalan di antara kerumunan Ica tidak memprotes dan terus mengikuti langkahku. Sesampai di luar, angin semilir membelai rambutku yang lurus, panjang sebahu, tapi tak berketombe. Aku melihat sekeliling dan menemukan jalan ke tempat tujuan yang agak terhalang oleh gerombolan siswa. Kami terus berjalan ke bagian belakang gedung dan Ica tetap tak bicara. Coba kuberanikan menoleh ke wajahnya, terbersit rasa kecemasan yang Aku tahu dia pasti sudah mempunyai firasat tentang ini.

Beberapa langkah di depan kami, terdapatlah sebuah taman kecil yang bersih dan tertata rapi. Ada pohon rimbun yang aku tak tahu namanya meneduhi seperempat bagian dari taman. Suara air mancur bergemericik terirama dari kolam kecil di salah satu pojoknya. Semerbak wangi bermacam bunga di sekeliling taman memanjakan syaraf hidungku. Tak ada yang terlalu istimewa di taman itu, kecuali kenangan yang tersimpan di dalamnya. Tempat ini menjadi saksi ketika aku meminta Ica jadi kekasihku. Tidak seperti skenario dari banyak penembakanku sebelumnya, kali itu dilakukan dengan tak terencana sama sekali. Semua terjadi saat kami sama-sama menjadi panitia bagi acara perpisahan kakak kelas tiga di angkatan sebelumnya.

Aku berdiri di atas lantai berbatu yang memisahkan antara padang rumput taman dengan bangunan gedung. Pemandangan ini membiusku sesaat seiring dengan berputarnya piringan hitam memori di kepala. Semua itu terasa indah seperti baru saja terjadi dan hari kejadian itu tak pernah ada senja yang beranjak menutupnya. Di taman ini tak ada kursi yang tersedia. Aku hendak duduk di atas lantai batu. Saat tanganku menyentuh permukaan batu yang kasar, terasa banyak debu yang melapisi. Kulepas sepatu kets hitam yang sudah tiga tahun setia menemani, digeser sekarang fungsinya dari alas kaki menjadi alas duduk di atas lantai. Ica mengikuti apa yang kulakukan dan duduk dengan menarik kedua lutut ke dalam pelukannya.

Jarum detik di arloji berputar melewati angka 12 berulang kali seakan enggan tuk berhenti sejenak. Tak ada suara di antara kami. Hanya terdengar sayup-sayup panitia anak kelas dua yang sedang sibuk merapikan panggung. Aku menghela nafas panjang mencoba menghimpun kekuatan. Ica menunduk dan menumpahkan semua fokus penglihatannya ke arah daun kering yang jatuh di depan kami. Ia seperti menunggu dan bersiap akan konsekuensi yang akan terjadi.

“Aku harus pergi,” ucapku akhirnya memecah keheningan, “Ke jakarta.”
Aku bicara tetap tak memandang Ica. Berusaha menjadi makhluk tak berperasaan yang dengan ringan mengatakan kata perpisahan. Tapi tetap tak bisa. Lisanku bergetar saat mengucapkannya. Diam kembali menyerbu. Tak ada reaksi dari Ica. Tatapanku tak bergeser sedari tadi dari arloji yang terikat pasrah di tangan. Tali pengikatnya melekat di kulit lengan yang bagian atas terlihat lebih gelap daripada bagian bawah.
“Ini semua sudah Aku rencanakan,” Kuhela nafas tuk kemudian melanjutkan, “dan kamu mungkin juga sudah tahu dari keluargamu tentang hal ini”
Sunyi kembali. Aku diam menunggu reaksi dari Ica.
“Aku tak mau kehilangan kamu.” Kalimat pertama Ica sejak kami duduk di sini. Ia mulai menegakkan kepala. Ada bulir halus air mata mulai membasahi pipi yang putih tanpa sedikitpun bercak noda. Angin berhembus lagi mengibaskan rambut panjang hitam Ica yang diikat ekor kuda.
“Aku pergi untuk menggapai cita-citaku Ca. Aku ingin membuat keluarga kita bangga dengan apa yang akan aku jadikan modal untuk melanjutkan hubungan ini nanti. Tak bisa terus seperti ini. Apa yang bisa diharapkan dari hobiku sekarang.” Jelasku panjang lebar, “dan kuliah di Jakarta adalah pilihanku.”
“Tapi kau benar tak akan melupakanku?” Mata Ica sekarang menatapku dalam-dalam, mencari sebuah jawaban.
Ku balas pandangan itu setulus mungkin. Banyak perubahan yang sudah terjadi pada Ica. Kacamata tebal yang menandakan bahwa ada kutu buku di sini, sekarang diganti sepasang contack lens cantik. Poni yang menutupi sebagian dahinya tak ada lagi. Style rambut dikepang dua digantinya pula. Tapi ada satu yang tak berubah. Tatapan mata tajam yang serasa bisa membaca isi hatiku. Tatapan mencari jawaban yang sama seperti waktu aku memintanya jadi kekasihku. Di dalamnya seperti berkata ‘Apa benar yang kau katakan?’

Tanpa berkata apa-apa, Kuajak Ia berdiri dan memeluknya. Sepasang lengan kekarku memeluknya erat sebagai jawaban atas pertanyaannya. Air mata Ica membasahi bahuku. Aku menunggunya sampai agak tenang dan melepaskan pelukan. Tanganku mencengkram kedua lengannya dan memandang wajah yang sudah basah air mata itu. Sinar jingga matahari senja membasuh wajah cantik Ica. Sisa-sisa air mata seakan berkilau. Bibir merah yang mungil itu tercekat tak ingin berucap.

“Coba kamu lihat matahari yang memerah itu.” Kini suaraku mantap tuk lebih meyakinkan.
“Matahari itu sebentar lagi akan hilang dan meninggalkan bulan seorang diri dengan sinarnya yang memukau. Tapi waktu itu tak akan lama, Ia akan datang kembali dengan hari baru, mengejar bulan pujaannya, hingga bulan itu bersedia meredupkan sinarnya dan menyandarkan dirinya di pelukan matahari.”
Ica tersenyum memandangi matahari senja. Senyumku ikut mengembang. Kutahu, Ia telah mengerti dan merelakan kepergianku. Aku merengkuhnya lagi kedalam pelukan dan berbisik, “Aku akan menjadi mataharimu .... ”

*****

Sedan BMW merah 320I meluncur tenang di jalan kota Yogyakarta. Aku duduk di dalamnya sambil terus tersenyum melihat sekitar. Sudah hampir satu dasawarsa meninggalkan kota ini, tapi tak banyak perubahan berarti. Setelah berhasil lulus dari Ilmu Komputer Universitas Indonesia, aku ditawari kerja di salah satu perusahaan software international. Kini aku sudah memiliki sebuah rumah kecil di Jakarta, janjiku pada Alicia telah dapat ditepati. Rinduku pada Ica tak tertahan lagi. Tak ada foto, telepon, atau email yang bisa mengobati. Kami memang sudah berkomitmen untuk tidak saling berkomunikasi selama di Jakarta. Karena itu pula, rasa sayang itu terasa lebih dalam.

Mobil berhenti di depan sebuah rumah berukuran tak terlalu besar. Rumah dengan gaya tradisional Jawa yang kental, terlihat sangat akrab. Tempat ini sangat sering ku kunjungi terutama pada malam minggu. Orang tua Alicia pun sudah sangat mengenalku dan menyetujui hubungan kami.

Mesin mobil dimatikan dan aku memandang keluar. Tak seperti biasanya, keramaian terlihat jelas di dalam dan luar rumah. Berusaha menyingkirkan perasaan tidak enak, aku turun dari mobil. Kemeja putih lengan pendek dan celana bahan berwarna hitam yang kukenakan masih terlihat bersih. Pakaian ini tidak diganti sejak berangkat dari Jakarta kemarin. Aku menoleh ke spion mobil untuk membenarkan letak kacamata. Rambut dengan potongan pendek ikut kurapikan walaupun sebetulnya tak perlu.

Langkahku terhenti di halaman depan. Perasaan tidak enak kembali menyergap ketika kulihat ada janur kuning yang terpasang. Di dalam ruangan juga terdapat banyak kursi dan meja resepsi. Dengan perasaan yang tak menentu, kuberanikan melangkah lebih dalam. Ada pelaminan yang para undangan sedang memberikan selamat pada kedua mempelai. Lebih dekat aku melangkah, terlihat jelas siapa kedua mempelai itu terutama pada mempelai perempuan.

Menahan gejolak rasa kecewa di dada, Aku berbalik dan melangkah cepat ke mobil. Pedal gas kuinjak untuk kemudian meluncur cepat meninggalkan rumah keluarga Alicia. Aku masih tidak dan tak ingin percaya dengan apa yang kulihat. Semua berjalan begitu cepat setelah sepuluh tahun menunggu. Tak ada yang bisa difikirkan sekarang, kecuali mobil yang melaju cepat ke satu tujuan.

Sampai di suatu gedung tua yang masih terawat, pintu gerbang sudah tertutup. Tanpa fikir panjang, kulompati gerbang yang tidak terlalu tinggi itu. Untung saja tak ada kawat duri di atasnya. Ternyata kebiasaan bolos kelas dengan lompat pagar sekolah masih tersisa. Langkah cepat membawaku ke bagian belakang gedung. Kaki seakan tak mampu melangkah lagi saat aku tiba di tempat yang sudah familiar sekali. Taman ini masih tidak banyak berubah, kecuali pohon yang sampai sekarang aku masih tidak mengetahui namanya, menjadi lebih rimbun meneduhi setengah dari luas taman. Kolam kecil dengan air mancur yang bergemericik tenang, serta bunga yang bermekaran di pinggiran taman, masih terawat dengan baik.

Kedua kakiku lemas dan seketika jatuh berlutut di lantai. Seperti dulu, ku lepas alas kaki, lalu digeser kebelakang sebagai alas duduk. Matahari yang kemerahan terlihat lelah dan ingin pulang tuk beristirahat, Kembali bangun di pagi hari, memulai hari bagi umat manusia. Tercium udara segar aroma rumput dan bunga yang mulai menenangkan fikiran. Kenangan-kenangan manis semakin cepat berkelebat di depan mataku. Tak terasa, air mata sudah tak tertahan lagi. Sesuatu yang tidak keluar saat perpisahan, akhirnya terjadi pada saat yang kuharap semuanya sempurna. Kacamata kulepas dan memasukannya ke dalam saku. Sisa tetesannya kubersihkan dengan sapu tangan. Di salah satu sudutnya, terdapat inisial A. Alicia, nama yang tak mungkin bisa Aku lupakan. Apapun yang terjadi, aku pasrah. Janjiku untuk menjadi lebih baik telah kupenuhi pada Alicia. Kini mungkin aku bisa menerima jika harus ...

Tanpa disadari, seseorang berjalan dari arah belakang dan menyentuh bahuku dengan lembut. Aku mengenakan kembali kacamata dan mendongak untuk melihatnya.

“Aku tahu, kamu akan datang ke tempat ini.” Ucap perempuan yang sekarang duduk di sebelahku. Ia melakukan hal yang sama. Melepas alas kakinya, menggesernya ke belakang, dan dijadikan alas duduk.
“Terima kasih telah datang ke resepsi pernikahaan adikku.”

Tatapan kami bertemu. Dari balik kacamata, Aku melihat wajah yang sepuluh tahun terakhir ini selalu kuingat. Ica masih sama, selain pembawaannya yang tambah dewasa. Sedangkan aku, masih mengulangi kecerobohan dengan tak bisa membedakan antara Alicia dengan Alida. Mata Ica terus menatapku dalam-dalam. Aku merasa kikuk dan menggaruk kepala yang tak terasa gatal. Tatapannya kini seperti berkata ‘Apa benar kamu matahariku yang kembali datang?’.

Aku tersenyum bahagia dan mengajak Ica untuk bangkit. Melihat sekilas pada matahari yang sudah mulai beranjak ke peraduannya, memegang tangan Ica, dan menggandengnya meninggalkan taman. Kini aku telah menjadi mataharimu, Akan kuberikan sinar sepenuh hati padamu, agar kamu bercahaya, selalu bercahaya mengiringi hari-hariku…

0 comments:

Posting Komentar

mohon untuk mengisi komentar