Pages

10 September 2008

The advanture on the scary place



Ku teguk segelas kopi susu yang dibuat oleh Cyndi istriku.
“Gimana Say..., gulanya masih kurang nggak?” Tanya Cyndi yang duduk di sampingku. Aku hanya menggelengkan kepala dan tersenyum sambil kembali menyeruput kopiku yang kesekian kalinya.
Kami adalah pengantin baru. Kami baru menikah enam hari yang lalu setelah melalui masa pacaran yang cukup lama sejak aku tamat STM hingga aku lulus S satu dan menikah ketika aku baru setahun bekerja sebagai pilot di sebuah perusahaan penerbangan. Yah..., kira-kira enam sampai tujuh tahunan. Karena aku berprinsip, aku harus berpenghasilan dulu baru aku menikah dan Cyndi setuju akan prinsipku itu sehingga dia pun menunggu.
Sedangkan Cyndi, adalah tamatan SMK Tata boga, namun hingga kami menikah dia belum mendapat pekerjaan karena sulitnya peluang kerja.
Untuk semantara, kami tinggal di rumah orang tua Cyndi, sebelum aku membawa Cyndi untuk ke rumah baru kami.

“Kring...” Suara telpon berdering lalu Cyndi pun bergegas mengangkatnya.
“Dari siapa Cyn?” Tanyaku setelah dia kembali.
“Dari Mabur Airline, untuk kamu.” Jawabnya sambil kembali duduk di sofa.
Aku pun bergegas mengangkatnya.
“Yaps... Halo!” Kataku sambil memegang gagang telpon.
“Ini benar Bapak Aditia?” Tanya si penelpon dengan nada formal.
“Yah saya sendiri.” Jawabku.
“Bisa kekantor sekarang?”
“Bukannya cuti saya masih dua hari lagi pak?” Tanyaku sedikit bingung.
“Ini penting!” Kata Penelpon tegas.
“Oh... ya sudah saya akan datang.” Jawabku.
“OK, saya tunggu Anda sekarang.”
“Baik Pak.”
Aku pun menutup telpon itu.
“Kenapa?” Tanya Cyndi setelah aku duduk kembali dan menghabiskan sisa kopiku.
“Aku disuruh ke kantor hari ini.” Jawabku sambil mengela nafas.
“Bukannya kamu masih cuti?” Kata Cyndi dengan lembut.
“Entahlah.” Aku pun bangun dan berjalan ke kamar dan mengambil jaket serta kunci motor. Cyndi tidak bisa berbuat apa-apa kecuali ikut bangkit dan menyiapkan baju kantorku.
Setelah aku ganti baju, aku pun berpamitan dengannya dan mengambil motorku di garasi. Kuhidupkan motor itu lalu aku lajukan menuju ke kantorku. Sebenarnya sih, perjalananku ke kantor lebih dekat di bandingkan dari rumah orang tuanya Cyndi. Karena rumahku di Jakarta, sedangkan rumah Cyndi di tangerang. Dan kebetulan kantorku berdomisili di jakarta.

Sesampainya aku di kantor, aku menuju ke ruang manager yang tadi menelponku di rumah setelah aku berbincang sedikit dengan rekan kerjaku dan menerima ucapan selamat atas pernikahanku dengan Cyndi.
Aku mengetuk pintu ruang manager.
“Masuk” Jawab seseorang yang berada di dalamnya.
“Selamat pagi Pak.” Kataku sambil masuk dan duduk setelah dipersilahkan.
“Maaf, saya jadi mengganggu waktu cuti Anda sedikit.” Canda seorang manager sambil membaca kertas laporan yang menumpuk di mejanya.
“Yah... Ada apa Pak!” Jawabku tanpa basa basi.
“Begini…, perlu anda ketahui, bahwa salah satu dari pilot kita, jatuh dari pohon kelapa kemarin sore. Kaki dan tangannya patah dan sekarang harus dirawat di rumah sakit.” Jawab sang manager dengan gambling.
“Lalu, apa kaitannya dengan saya?” Tanyaku yang ingin memperpendek mukadimah.
“Kaitannya adalah, dengan terpaksa kami harus memotong hari cuti Anda untuk menggantikan beliau. Karena, besok kita harus melakukkan penerbangan ke Amerika serikat.” Jawab Manager dengan nada formal.
“Tapi Pak, bukan tugas saya hanya singapura?” Tanyaku heran.
“Kami terpaksa untuk menggunakan Anda, karena menurut penilaian dari perusahaan kami, Anda salah satu pilot yang mahir dalam menguasai medan penerbangan. Silahkan ditandatangani dokumen ini.” Kata sang manager sambil menyodorkan dokumen yang terbungkus di dalam map.
Isi dari dokumen itu menerangkan surat penugasanku untuk melakukkan penerbangan ke Amerika serikat. Berkali-kali aku baca dokumen itu. Dan akhirnya aku menyetujui dan menandatangani dokumen itu.
Setelah semua urusan selesai dengan sang manager, aku dipersilahkan pulang untuk mempersiapkan segalanya.
“Apa? Kamu mau ke Amerika?” Tanya istriku sesampainya aku di rumah dan setelah menjelaskan kenapa aku dipanggil kekantor.
“Tapi…, kamukan masih cuti Say…” Lanjut Istriku sambil membimbingku ke kamar.
“Yah…, itulah kondisi perusahaan tempatku kerja, kita harus siap disegala kondisi.” Kataku meyakinkan sambil duduk di kasur pengantin.
“Kita baru menikah, aku belum mau ditinggal-tinggal sama kamu!” Kata istriku merengek.
“Say…, ini tugas! Aku akan kehilangan pekerjaanku kalau aku nggak menjalaninya. Do’ahkan aja, agar aku selamat.” Jawabku meyakinkan.
Cyndi hanya terdiam dan hanya menyandarkan kepalanya di dadaku. Dia menangis, Cuma aku berusaha untuk terus meyakinkannya. Dan dia pun akhirnya diam.

Malam harinya, aku membereskan pakaianku untuk di masukan ke koper. Cyndi membantuku dan memilihkan potongan pakaian yang paling pantas aku pakai.
“Paling Cuma tiga hari say.” Kataku sambil menutup sleting koperku.
Istriku hanya diam. Aku tahu, dia belum sepenuhnya untuk mengizinkanku menjalani tugas ini. Tapi pengabbdianku terhadap perusahaan membuatnya tidak bisa berbuat banyak untuk melarangku.
Setelah membereskan semuanya, waktu telah menunjukan kira-kira pukul sepuluh malam. Cyndi terlihat mulai mengantuk, sedangkan aku belum. Aku pun menyuruhnya untuk tidur sedangkan aku masih ingin menonton TV di ruang tengah dengan papanya Cyndi. Cyndi pun merengek minta ditemani dan menyuruhku menonton TV di kamar saja.
Aku pun menurutinya.
Ketika aku sedang asyik menonton TV di kamar, tiba-tiba istriku mengigau.
“Tidak…. Tidaaaaak….!”Teriak Cyndi histories.
Aku pun membangunkannya lalu menanyakan apa yang terjadi.
“Dit, pokoknya kamu jangan pergi. Jangan…!” Kata Cyndi setelah tersedar lalu mendekapku dengan sangat erat.
“Kenapa Say, ini tugas…!” Kataku heran.
“Aku habis mimpi buruk. Kamu kecelakaan say…! Dan aku nggak mau itu terjadi!” Kata Cyndi yang semakin mengeratkan pelukannya dan kembali menangis.
Aku pun berusaha menenangkan kembali dan meyakinkan bahwa itu hanya mimpi yang tercipta dari fikirannya sendiri karena kehawatirannya terhadap kepergianku.
TV pun aku matikan dan aku terus berusaha kembali menenangkan istriku hingga dia kembali tertidur.

Keesokan harinya kami terbangun dengan jeritan jam beker yang sengaja aku setting pukul setengah lima.
Aku langsung bangkit dan membersihkan badan, sedangkan Cyndi masih bermalas-malasan di tempat tidur.
Kami sarapan sekitar pukul enam pagi bersama keluarga Cyndi.
“Hati-hati yah.” Kata Mamahnya Cyndi kepadaku ketika aku berpamitan kepada Cyndi dan keluarganya sambil menjabat tangan mereka satu-per satu.
“Titip Cyndi yah Ma, Pa.” Kataku yang entah mengapa, aku terbawa suasana haru dan aku menitikkan airmata, ketika aku berpamitan kepada Cyndi dan mencium keningnya. Seolah-olah aku nggak akan melihatnya lagi untuk selamanya.
“Tenang Nak, kami akan menjaganya. Jalankan saja tugasmu dengan tenang. Fikirkan juga keselamatanmu!” Jawab Papah Cyndi sambil memberikan keyakinan bahwa Cyndi akan baik-baik saja.
“Dit, please, jangan ppergi.” Tangis Cyndi kembali pecah, ketika aku sudah berada di atas sepedah motorku dan siap untuk berangkat.
“Tenang-tenang, aku nggak akan apa-apa.” Kataku kembali meyakinkannya.
Setelah Cyndi sudah terlihat tenang, barulah aku melajukan motorku meninggalkan mereka semua dan langsung menuju Bandar udara sukarno hatta.
Sesampainya di sana, ku parkirkan motorku di garasi penitipan lalu aku langsung menuju ke pesawat, karena jatwal penerbangan akan berlangsung setengah jam lagi.
Rekanku “Tomas Muharam”, seorang ko pilot sudah menghidupkan mesin pesawat yang nantinya akan aku kemudikan. Dari kabin pilot, aku bisa memandang para penumpang yang sudah mulai berdatangan.
Aku dan Tomas, membicarakan tentang rute penerbangan yang akan aku jalani hingga seorang pramu gari mulai memberikan instruksinya kepada para penumpang.
Jatwal penerbangan sudah tiba, aku pun mulai melajukan pesawat dengan perlahan menuju landasan pacu. Dengan berdasarkan aba-aba dari pihak bandara, aku mulai bersiap-siap menerbangkan pesawatku setelah aku sudah tiba di landasan itu.
Dan akhirnya, pesawatku dapat take off dengan mulus. Cuaca masih cukup mendukung ketika aku melalui perairan singapura.
Aku dan Tomas setuju untuk landing sementara di singapura untuk sekedar mengisi bahan baker sebelum kami melanjutkan perjalanan.
Aku memberikan instruksi kepada penumpang agar mereka tidak meninggalkan pesawat, karena aku dan Tomas hanya mendarat sebentar.
Setengah jam kemudian, kami kembali take off, untuk melanjutkan perjalanan ke Amerika. Namun cuaca mulai agak buruk, ketika kami hamper mencapai perairan jepang. Pesawat kami mulai tidak stabil, ketika kami sudah berada di atas perairan itu. Terdengar, jeritan panic para penumpang melihat kondisi itu. Tomas menginstruksikanku untuk melakukkan pendaratan darurat di pulau terdekat, ketika kabut mulai menghalangi jarak pandangku. Perasaanku mendadak aneh, ketika aku susah payah mencari daratan dengan bantuan teleskop.
Tidak disadari, semua mesin pesawat tiba-tiba mati dan aku mulai panic. Tomas mulai mengaktifkan radar bahaya untuk memberi tahu pihak bandara terdekat ketika aku susah payah melakukkan pendaratan darurat dengan keadaan mesin yang sudah mati. Para pramugari berusaha menenangkan penumpang sambil membagikan alat penyelamat dengan suara agak keras karena seluruh listrik di dalam pesawat ikut mati.
Guncangan pesawat semakin hebat ketika kami sudah tinggal seribu lima ratus kaki lagi menuju daratan. Dengan susah payah, aku berusaha menyetabilkan guncangan itu ketika tiba-tiba, seberkas sinar berjalan tegak lurus kea arah pesawat kami, dan aku sudah tidak sadar apa yang terjadi kemudian.

* * *

Aku merasa, bahwa aku sudah berada di sebuah taman kota, yang Indah. Aku melihat, banyak pasangan muda-mudi jepang, sedang bercengkrama di beberapa bangku taman.
Ada yang bermain ayunan, ada yang kejar-kejaran sambil bercanda dan tertawa.
Sedangkan aku, asyik duduk sendiri di atas bangku taman dekat sebuah pohon yang rindang. Langit cukup serah waktu itu dan matahari sedang terbit.
Sepasang pemuda berjalan mendekatiku sambil berbicara, lalu duduk di sampingku.

“Haji mimasite.” Kataku mencoba menyapa mereka.
Namun anehnya, mereka sama sekalih tidak menolehku. Mereka tetap mengobrol tanpa memperdulikanku. Kucoba kembali menyapa mereka, sambil mencolek tubuh mereka, namun tak ada reaksi yang ditimbulkan. Sedikit jengkel, akhirnya, kutinggalkan mereka, dan melihat orang-orang lain yang juga berada di taman itu. Tapi, setiap orang yang aku sapa, tak ada satu pun yang menyapaku. Aku mulai merasa aneh, ada apa ini?
Aku mulai bertanya-tanya dalam hatiku. Namun belum habis rasa itu, tiba-tiba, terlihat beberapa pesawat tempur, terbang dan melintasi taman itu, lalu terdengar sebuah ledakan keras, cukup keras! Seperti bom. Aku tidak sempat berfikir, ketika kulihat keadaan sekeliling, sudah kacau balau! Taman sudah tidak terlihat, yang terlihat hanya puing-puing reruntuhan bangunan, serta serpihan-serpihan seperti potongan tubuh. Bau amis darah tercium di mana-mana. Dan aku sendiri merasa ngeri, ketika aku juga basah kuyup, yang ternyata cairan yang membasahi bajuku itu adalah darah. Belum kurang rasa kengerianku, ketika kurabah sakuku, banyak sekalih kutemukan serpihan daging, dan potongan jari manusia. Tidak disadari, aku menjerit histories ketika para tim kepolisian jepang mulai mendatangi lokasih TKP, dan memunguti serpihan para korban.
Aku coba untuk meminta tolong dalam bahasa jepang, dan berlari ke mereka, namun satu pun dari mereka tak ada yang menoleh. Aku terus berlari meminta pertolongan sampai aku menemui tim medis, namun tetap saja tidak ada yang menghiraukan aku. Aku terus berlari dan berlari tanpa lelah. hari pun mulai gelap, ketika aku sampai di sebuah puing-puing sepertinya bekas reruntuhan bangunan. Aku pun berhenti dan duduk di salah-satu reruntuhan itu.
Suasana cukup hening, dan hanya terdengar suara jangkrik yang berbunyi di sekitar reruntuhan itu. Tanpa disadari, aku merabah-rabah sekitar reruntuhan, dan mengais-ngais serpihannya. Aku menemukan sesuatu dan tanpa fikir panjang, aku langsung mengambilnya. Dan kembali aku teriak, ternyata apa yangku ambil itu adalah sebuah telapak tangan tanpa jari dan pergelangan. Yah, jelas, tampak seperti telapak tangan dan sepertinya tangan wanita, karena sempat aku rabah permukaan kulitnya yang halus, sebelum aku melemparnya jauh-jauh. Aku pun meninggalkan tempat itu dan kembali berjalan. Kembali kutemui beberapa tim kepolisian yang juga menyisir puing-puing disekitarnya, dan mereka berhasil menemukan beberapa potongan kaki, kepala yang tanpa mata dan telinga, berpuluh-puluh gigi, dan lain-lain.
Kembali ku coba sapa mereka, dan memberikan informasi tentang penemuanku, namun tetap mereka tidak menghiraukan semua yang kukatakan. Mereka tetap asyik dengan pekerjaan mereka.
Kembali kutinggalkan mereka dan meneruskan perjalananku yang entah akan berakhir di mana.
Akhirnya aku pun menemukan sebuah rumah penduduk yang cukup sederhana, sepertinya tradisional has jepang, dan aku kembali mencoba mengetuknya dengan harapan ada yang menjawabnya. Dan betul saja, aku pun berhasil. Seorang wanita berpakaian kimono dan bertampang murung, membukakan pintu dan menanyakan magsudku dalam bahasa jepang dengan nada dingin. Aku menjawab, bahwa aku butuh istirahat, dan ingin singgah di rumah tersebut. Dia mempersilahkanku masuk dan duduk di bangku tamu.
Aku pun duduk. Dia meninggalkanku, dan beberapa menit kemudian dia kembali lagi dengan membawa segelas minuman, dan semangkuk makanan. Aku pun dipersilahkan menikmati itu semua. Tanpa fikir panjang, aku pun melakukkannya. Aku agak sedikit kagok untuk menggunakan sumpit, namun aku mencoba untuk belajar menggunakannya karena aku sadar, itu adalah makanan khas jepang. Ketika suapan pertama, aku tak merasakan keganjilan yang berarti. Namun, ketika suapan berikutnya, rasa makanan menjadi tidak karuan. Aku coba terus memakannya, karena aku fikir aku harus menghormati tuan rumah. Namun rasa itu semakin tidak karuan dan tanpa tertahan lagi, aku muntah di mangkuk itu.
Apa yang kulihat kemudian, semakin membuatku tidak bisa berbicara apa-apa. aku melihat, genangan darah di gelas minuman dan mangkuk, serta daging yang sudah hangus di mangkuk, serta sumpit yang berubah menjadi tulang yang hampir membentuk potongan kerangka manusia, Dan perumpuan itu, wajahnya berubah menjadi cukup menyeramkan, tanpa mata, hidung, serta telinga, lalu dia tertawa dan berkata dalam bahasa jepang. Dia berkata, bahwa yang aku makan itu adalah bagian potongan tubuh dari keluarganya yang hancur karena serangan bom atom.
Aku langsung berlari, keluar dari rumah terkutuk itu.
Aku terus berlari tanpa arah, tapi suara tawa yang menyeramkan itu masih terus terngiang di telingaku.
Ketika aku menoleh kebelakang, ternyata perempuan itu terus mengejarku. Nafasku mulai tersengal-sengal, dan tanpa disadari, aku berlari kedalam sebuah gedung yang gelap. Di situ terdapat ruangan-ruangan yang sebagian besar sudah tak berpintu. Namun aku akhirnya berhasil menemukan sebuah ruangan yang masih memiliki pintu dan lengkap dengan kunci yang tergantung.
Tanpa fikir panjang, aku langsung masuk lalu menutup dan menguncinya dari dalam.
“Dia... di sini! Si penghianat itu di sini!” Kata suara seseorang dalam bahasa jepang, bergaung di sekitar ruangan tempatku bersembunyi.
Aku mencari sumber suara itu, dan yang aku temukan hanya sesosok kepala yang terus berteriak kata “Musuh” dan makian dalam bahasa jepang dengan mata yang melotot ke arahku.
Aku tidak mengerti, apa arti dari semua ini. Namun belum sempat aku menyadarinya, aku telah melihat berpuluh-puluh sosok potongan tubuh, yang melayang bergerak, ada gigi, kuku, bhakan tangan-tangan yang berbentuk tengkorak, datang menghampiriku dan jatuh berserakkan.
“Dasar musuh! Seenaknya kalian membunuh kami!” Raung sang kepala buntung, yang terbang mengitariku.
“Bukan... Aku tidak pernah membunuh kalian! Aku hanya tersesat di negri ini!” Kataku sambil penuh rasa takut.
“Pembohong! Teroris pengecut. Bunuh diah!” Raung sebuah suarah, tanpa tubuh. Serentak benda-benda yang berserakan kembali hidup. Aku berusaha lari dan keluar dari ruangan itu. Untungnya, kunci ruangan masih tergantung dan aku berhasil meloloskan diri. Keadaan di luar tidak sebaik keadaan di dalam. Berpuluh-puluh kerangka manusia, sudah siap menyerangku. Kuberanikan diri untuk menyentuhnya dan aku patahkan mereka hinga hancur-sehancur-hancurnya.


Aku terus berlari mengitari
ruangan tanpa menyerah menghindari serangan-serangan benda-benda menyeramkan itu. Berpuluh-puluh kepala tanpa tubuh berusaha menyundulku namun, aku coba untuk hancurkan mereka dengan membenturkannya ke dinding, hingga otaknya berhamburan. Tapi semakin sering ku hancurkan, jumlah mereka semakin berlipat ganda dan aku pun memilih untuk menghindari serangan-serangan mereka sambil mencari jalan keluar. Sialnya, semua pintu yangkucurigai adalah pintu keluar, ternyata setelah kubuka semakin banyak benda-benda menyeramkan yang keluar dari ruangan yangku sangka pintu keluar. Mukaku mulai berdarah, karena serangan beratus-ratus bahkan beribu-ribu kuku.
tidak disangka, di gedung itu terdapat lubang yang sedalam dada orang dewasa, dan aku pun terjerembab ke dalamnya. Anehnya, lubang itu menjepitku hingga aku tak bisa bergerak. Kedua belah tanganku juga ikut terjepit.
“Siksa dia sebelum kalian bunuh!” Kata sesosok kepala yang terbang rendah sepuluh sinti dariku sambil memandang ganas. Aku hanya pasrah, dan benda-benda itu, mendekati dan mulai menyerangku. Puluhan gigi, mulai mengigiti telingaku hingga robek dan terlepas, dan ratusan kuku, mencakari mukaku. Aku hanya bisa berteriak meminta tolong dengan harapan ada seseorang yang mampuh membantuku. Hingga akhirnya, beberapa pasang tangan mulai memegang leherku ketika tengkorak jari-jemari berhasil mencongkel mataku dan mengelurkan kedua bola mataku. aku tidak bisa melihat apa-apa lagi. Yang aku rasakan hanya tetesan darah yang mengalir dari kedua mataku, serta cekikan yang perlahan-lahan semakin kuat dileherku.
“Bunuh...!” Ku dengar teriakan yang bergema keseluruh ruangan. Dengan serempak, sepasang tangan langsung mencekik leherku.
“Jangan bunuh aku... Aku bukan teroris... Tidak...!”. Aku merasa dasar lubang semakin dalam dan aku merasa terbenam seluruhnya di lubang itu yang akhirnya,

* * *

“Dit…, Aditia.” Suara isak tangis kemudian kudengar. Aku mendengar seperti suara istriku Cyndi.
Aku coba membuka mata, dan kudapati diriku disebuah ruangan perawatan rumah sakit yang sepenuhnya aku tak tahu di mana.

Badanku terasa pegal-pegal, seperti habis melakukkan sebuah kerja berat. Namun, aku nggak merasakan sakit sama sekali. Ku coba memandang sekeliling, dan aku melihat beberapa rekan kerjaku mengelilingi tempat tidurku. Dan kutemukan istriku tepat disebelah kananku yang langsung memelukku tapi langsung ditarik oleh salah satu rekan kerjaku.
“Dia baru sadar, dia masih lemas!” Terdengar suara bisik-bisik yang sepertinya seseorang yang sedang berbicara kepada Cyndi.
“A-aku di mana.” Kataku yang sepertinya sangat lemah terdengar.
“Jangan bicara dulu sayang, tenangkan dulu fikiranmu!” Bisik Cyndi tepat di telingaku.
Beberapa tim medis mulai memasuki ruanganku dan bercakap-cakap dalam bahasa jepang. Mereka langsung memeriksa tubuhku. Mereka tampak senang melihatku. Tomas Muharam terlihat baru memasuki ruanganku lalu menghampiriku.
“Tom, ada apa ini! Apa yang terjadi dengan pesawat kita!” Tanyaku penasaran yang langsung dicegah olehnya.

Bebarapah hari kemudian, aku mulai pulih dan keterangan pun berhasil kudapatkan akhirnya.
Ternyata pesawatku jatuh di kota hirosima. Ketika proses pendaratan mendadak berlangsung, aku langsung tidak sadarkan diri dan kendali langsung diambil alih oleh Tomas. Ketika pesawat mengarah ke gedung, Tomas langsung menyelamatkan diri dan membawaku terjun bebas dengan sebuah parasut. Seluruh staf dan beberapa penumpang selamat menghindari diri dari maut, namun sebagian lagi tewas ketika pesawat itu menabrak gedung tersebut lalu meledak dan terbakar. Tim sar datang tak lama kemudian, dan korban yang selamat langsung diefakuasi ke rumah sakit terdekat.
Tak ada lagi yang berhasil di selamatkan setelah kami. Para tim penyelamat hanya mengumpulkan sisa-sisa puing baik pesawat mau pun tubuh korban yang berserakan.
Ternyata aku tidak sadarkan diri hampir dua minggu. Seluruh keluargaku diberitahu tentang tragedi tersebut, dan Cyndi serta orang tuanya langsung terbang ke jepang tiga hari setelah tragedi itu mewakili keluargaku.
Setelah Tomas menceritakan semuanya, aku kembali bercerita apa yang terjadi pada diriku selama aku tidak sadarkan diri.
Mereka serentak cukup terkejut mendengarnya, namun tim psikiater yang juga mendengarkan ceritaku berkata dalam bahasa jepang yang artinya:
“Itu hanya sebuah halusinasi, yang terkadang timbul ketika pikiran kita sedang terguncang dan dalam keadaan situasi panik. Lalu otak kita merekam kejadian-kejadian yang menyeramkan dan menginterprestasikan dalam mimpi kita.”. Sejenak aku tidak menerima alasannya. Namun aku coba menghargai pendapatnya, ya walau pun aku tetap tidak menerima sepenuhnya.
Namun diwaktu yang berbeda, ada seorang ahli mistik, menanggapi ceritaku dengan berkata bahwa,
Sinar yang aku lihat adalah sebuah sinar masa lalu, yang merekam tragedi hirosima, dan naga saki, yang akhirnya menyerang tubuhku. Namun penyerangannya tidak sempurna sehingga ceritanya jadi sedikit kacau. Aku pun segera berfikir sejenak, berarti aku terbawa ke masa lalu. Namun aku tidak memikirkannya berlarut-larut, anggap saja itu sebuah pengalaman. Tapi biar begitu juga, aku tetap syok memasuki kehidupan yang cukup menyeramkan bagiku.
Beberapa minggu kemudian, aku sudah benar-benar sehat dan aku pun kembali pulang ke tanah air Indonesia.
Aku langsung mengajukan surat pengunduran diri sebagai pilot ditempatku bekerja. Semula pihak perusahaan menolaknya, karena aku adalah pilot terbaik yang mereka punya saat ini. Tapi aku terus mendesaknya, dan akhirnya surat pengunduran diriku pun diterima dan aku diberikan pesangon yang cukup untuk membuka usaha kecil-kecilan.
Aku dan Cyndi pun membuka warung nasi di dekat rumah baruku setelah aku resmi pindah dari rumah orang tuanya Cyndi seminggu setelah pengunduran diriku dari Mabur Airline. Setelah pengunduran diriku dari perusahaan itu, Cyndi terlihat lebih senang, karena aku jadi tidak terlalu sibuk dan bisa lebih memperhatikannya.




The End!

0 comments:

Posting Komentar

mohon untuk mengisi komentar