Pages

10 September 2008

Merpati Berjari 6



Seekor merpati terbang rendah di atas permukaan laut yang bergelombang. Sayapnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus mengepak teratur mengangkat tubuh mungilnya seolah tiada beban. Angin yang berhembus mendorongnya untuk membumbung lebih tinggi lagi. Sementara mentari sudah sampai di kaki bukit, mengirimkan kehangatan dengan semburat cahaya merah menyebar di langit.

Ia terus terbang. Melayang dan entah kapan akan berhenti. Sementara barisan hari sudah jauh tertinggal dibelakangnya. Bersama kawan setianya bintang, ia merasa tak pernah lelah walau harus terbang beratus-ratus kilometer jauhnya. Hingga sampai ke tempat yang ditujunya,.

Matanya tajam menatap ke kejauhan. Sejauh penglihatannya yang tampak hanyalah air menggenangi seluruh permukaan bumi. Ia tak tau lagi di mana sekarang berada. Yang ada di fikirannya adalah sampai ke tempat yang dikatakan bintang kepadanya.

“Nanti suatu saat kau pasti akan sampai ke sebuah tempat yang akan menjawab semua keluh kesahmu. Dan disana kau pasti akan merasakan bahwa semua yang diciptakan Tuhan itu tak ada yang sia-sia”

Apakah yang dikatakan bintang itu benar adanya? Mungkinkah ia akan dapat berbuat sesuatu yang membanggakan? Ironi sekali! Mimpi! Apalagi bila ia ingat semua yang telah dialaminya selama ini.


* * *

Ia memang seekor merpati kecil yang luar biasa. . Ia cantik, manis, dengan bulu-bulu putih halus yang menutupi seluruh tubuhnya, mata bening yang tajam, serta sepasang kaki yang ramping dan jari lentik yang indah. Ditambah lagi dengan sepasang sayap simetris dengan corak menjari yang tak jemu dipandang mata. Semuanya itu membuatnya unggul diantara sesama jenis. Ia cerdas, periang, pandai bergaul, dan ahli dalam mengikat lawan jenis. Tapi dibalik itu semua, bila engkau mau meluangkan waktu sedikit lebih banyak dengannya, maka akan kau dapati seribu satu macam kekurangan terdapat pada dirinya.

Ia bukanlah tipe makhluk yang selalu puas pada segala hal. Kegemarannya adalah ingin menaklukan seluruh pejantan yang dia temui. Cenderung sombong, egois, ingin menang sendiri, dan masih banyak lagi berbagai macam kekurangan lainnya yang tentu saja tak dapat kutuliskan di sini.

Sedari kecil ia tinggal di sebuah sangkar mewah yang terawat dengan baik. Makan dan minumnya selalu cukup. Ia pun bebas pergi ke manapun dia suka karena pintu sangkarnya selalu terbuka. Dan karena ia adalah satu-satunya merpati peliharaan di rumah tuannya, sudah tentu ia selalu diperhatikan.

Ia mengira hidup ini selalu indah, mudah, dan gampang diraih. Tak perlu bersusah payah bila menginginkan sesuatu. Tak ada yang sulit, bila ada sedikit saja kesulitan yang kita temui, maka harus segera lari darinya. Begitulah hidup yang ada dalam fikirannya.

Hingga sampailah ia pada suatu hari yang memaksanya berfikir ulang tentang hakikat kehidupan itu. Tepatnya pada saat tak berhasil mendapatkan apa yang diinginkan. Seekor merpati jantan yang telah lama ia incar dengan terang-terangan menolak dan menjauhinnya. Pergi dan meninggalkannya. Ia frustasi. Baru kali ini ada pejantan yang tak berhasil degaetnya. Padahal berdasarkan pengalaman, mendengar suaranya saja sudah cukup membuat semua lawan jenis takluk dihadapannya. Ia bingung, tak tahu apa yang mesti dilakukan, Apakah masih ada kekurangan pada dirinya?

Ia mencoba meneliti setiap senti yang ada pada tubuhnya. Tak ada yang ganjil, semua terlihat sempurna. Namun ketika ia bertanya pada seekor merpati lain. Terungkaplah suatu kenyataan yang sama sekali diluar dugaannya.

“Memang benar kau ini makhluk yang cantik. Tapi tahukah kau bahwa di dunia ini kau tak sendiri? Ada makhluk-makhluk lain yang melihat dan memperhatikanmu. Dan mereka mengetahui sebuah kekurangan yang kau sendiri tak mengetahuinya.” Seru sahabatnya itu.

“Memangnya apa yang masih kurang pada diriku?”

“Coba kau perhatikan baik-baik jari kakimu.”

Ia pun merunduk dan memperhatikan jari-jari kakinya. Dan begitu terkejutnya ia begitu melihat keganjilan yang ada disana. Kakinya berjari enam, sementara ketika ia menengok jari kaki sahabatnya itu berjumlah empat.

Begitu shoknya ia mengetahui kenyataan itu. Ia tak menyangka bahwa selama ini ia memiliki cacat yang sangat terlihat jelas.

Dan pada malam harinya dimana bulan bersinar dengan anggunnya, bintangpun mengiringi dengan kerlap-kerlip bagai berlian. Merpati yang sedang gundah itu terbang mengarungi udara malam. Tak tahu apa tujuannya. Hingga sampailah ia pada barisan pohon besar yang memagari sebuah taman kota. Iapun hinggap di salah satu pohon tertinggi yang ada disana. Kepalanya menengadah ke langit.

“Wahai Tuhan, mengapa kau ciptakan aku seperti ini. Mengapa kau jadikan aku makhluk yang cacat? Apalah artinya hidupku ini. Ooh, begitu malangnya nasibku. Kenapa semua ini mesti terjadi padaku?

Ia terus meratap dan mengeluh. Suaranya melengking dibawa angin hingga ke langit. Bintang yang mendengar rintihan itu menjadi iba dan tergerak. Iapun meluncur ke bawah. Menghampiri si merpati.

“Wahai merpati kecil, mengapa kau meratap dan berkeluh kesah seperti itu? Apakah kau tak menerima ketetapan Tuhan yang telah berlaku pada dirimu?”

“Aku kecewa, aku malu pada semua makhluk yang ada di bumi ini. Tentu mereka sedang mengolok dan menertawakanku. Dan semua itu karena kakiku ini yang berjari enam.”

Bintang hanya tersenyum mendengar jawaban itu. Disapunya seluruh tubuh lawan bicaranya dengan kehangatan cahaya yang dimilikinya. Si merpati tampak semakin indah dan berkilau dibawah pancaran sinar itu.

“Dengarlah ini. Tak ada sesuatu yang sia-sia yang diciptakan Tuhan di dunia ini. Semua punya maksud. Begitupun juga dengan keenam jari pada kakimu.”

“Tapi apa maksudnya. Toh aku akan hanya menjadi bahan gunjingan, cemoohan, serta olok-olok saja.”

“Itu hanya perasaanmu saja. Dan apa uyang kau fikirkan itu tak seluruhnya benar. Jika saja kau mau bersabar, dan sedikit bekerja keras pasti kau akan dapat menemukan maksud dari semuanya.” Bintang terus menenangkan. Dikuatkannya sinar yang menerangi sahabatnya itu. Si merpati merasa hangat menelusup hingga ke tulang dan hatinya.

“Lalu bagaimana aku bisa mengetahuinya?” Si merpati kembali bertanya. Kali ini dengan kepala sedikit merunduk dan suara yang sedikit direndahkan.

“Bangkitlah! Terbanglah! Dan pergilah engkau ke tempat yang akan mengajarkanmu tentang arti sebuah kehidupan.”

“Apa maksudnmu? Lagipula kemana aku harus pergi?” Si cantik tampak keheranan dengan jawaban yang dirasanya terlalu mengambang itu.

“Maaf aku tak bisa memberitahumu tentang segala sesuatu. Aku hanya bisa mengatakan, bergegaslah kau segera!

Setelah berkata demikian, Bintang kembali naik dan menghilang. Tinggalah kini si merpati terpekur sendiri memikirkan jawaban sahabatnya tadi


* * *


Keesokan harinya si merpati benar-benar terbang meninggalkan tempat yang telah bertahun-tahun ditinggalinya itu. Tak difikirkannya bagaimana nanti reaksi keluarga yang telah memeliharanya selama ini jika menyadari bahwa nanti malam dan entah sampai kapan ia tak kembali ke sangkarnya itu. Dia juga tak berfikir bagaimana dengan semua yang dimilikinya, termasuk teman dan sahabat-sahabatnya.

Ia terus terbang, melayang, dan membumbung ke angkasa mengikuti arah angin yang berhembus. Dikepakan kedua sayapnya dengan cepat, semakin cepat, meluncur deras bagai misil yang ditembakan. Menembus gumpalan awan, Mengarungi sungai, Merentas lautan, Melanggar batas-batas territorial berbagai Negara. Hingga terasa lelah seluruh tubuhnya. Dan saat ia sampai di sebuah hutan lebat yang rindang, diputuskannya untuk beristirahat. Diperlambatnya kecepatan sebelum meluncur turun dan mendarat dengan mulus disebuah cabang pohon besar. Dipandangnya ke arah sekitar. Pemandangan yang terhampar tampak begitu menakjubkan. Hamparan hijau dengan barisan pohon rindang tersusun rapi mengelilingi sebuah sungai yang jernih airnya. Deras mengalir di antara permukaan batu-batu besar yang juga disusun dengan apik. Kicauan berbagai burung, teriakan monyet serta suara hewan hutan lainnya menambah semarak suasana ditegah alunan deras sungai yang mengalir. Bau Khas dedaunan dan tanah meggelitik hitung, memberikan kesegaran bersama udara jernih yang belum tercemar.

Haus yang mullai terasa mengeringkan tenggorokan membuatnya turun dan kembali mendarat di atas sebuah batu besar. Uuh, licin sekali, Kalau saja jari-jarinya tak dapat mencengkram dengan kuat, Pasti ia sudah terpeleset dan terbawa arus sungai. Ia mencondongkan paruhnya hingga menyentuh air. Dingin pun mengalir daari kepala merambat ke leher, dan masuk ke aliran darah yang menyebarkannya ke seluruh tubuh. Alhasil, Ia mengigil, Dirapatkannya kedua sayap hingga menyentuh kedua kakinya. Dan dimasukan kepalanya diantara lipatan sayap tadi. Sudah terasa agak hangat. Dan beberapa menit kemudian dirasakannya kesegaran bagai meledak dari pembuluh-pembuluh darah. Rasa lelah yang tadi dirasakan kini seperti bagai tak pernah terjadi. Matanyapun terasa lebih sejuk. Dikembangkan lagi kedua sayap yang tadi merapat. Sementara kedua kaki dan lehernya kini berdiri tegak.

“Wah, begitu bahagianya jika aku dapat terus berada di sini. Mungkinkah ini tempat yang dimaksudkan bintang? Sepertinya begitu. Buktinya aku sama sekali tidak melihat suatu kesia-siaan di sini. Semuanya berjalan begitu serasi dan teratur. Begitu tenang dan menyenangkan. Baiklah, aku akan tinggal dan istirahat sebentar disini.“

Ia pun membuka paruhnya dan menghirup udara banyak-banyak. Kesegaran segera kembali merambati pori-pori tubuh. Ia kembali mencelupkan paruhnya ke air dan minum sepuas-puasnya. Begitu bahagianya dia. Serasa seperti di surga. Aah, memangnya dia pernah ke surga?

Namun kesenangannya itu sedikit terusik. Penyebabnya adalah perubahan yang terjadi pada air sungai secara tiba-tiba. Warnanya kini berubah kemerahan. Baunyapun telah menjadi amis separti darah. Apa yang terjadi? Dia pun memalingkan kepala dan memutar tubuhnya. Dan apa yang dilihatnya kemudian sungguh mengerikan. Puluhan ikan nampak berebut dan menyerang seekor kelinci hutan yang juga sedang minum. Begitu buasnya ikan-ikan itu menggigit dan mengoyak-ngoyak mangsanya. Dan, dalam hitungan detik makhluk malang itu telah kehilangan daging yang membalut tubuhnya. Secepat kilat, Ikan-ikan buas itu menggerogotinya hingga hanya tersisa tulang-belulang putih yang terkulai.

Merpati kecil begitu ketakutan. Ia membayangkan bagaimana bila dia yang menjadi mangsa ikan-ikan haus darah itu. Dan ketakutannya ternyata terjadi. Gerombolan ganas itu kini mulai bergerak cepat dan menuju ke arahnya

Begitu terkejutnya dia, sementara gerombolan pemangsa itu kini semakin dekat. Ia tak tahu apa yang mesti dilakukan. Otaknya seolah berhenti berputar. Diangkatnya kepalanya ke langit, hendak meminta pertolongan pada Tuhan. Dan di atas sana ia melihat benda kehitaman melengkung-lengkung melayang di angkasa. Tiba-tiba ia ingat sesuatu yang membuatnya mengutuk dirinya sendiri.

“Astaga! Aku ini kan burung!”

Ia segera merentangkan sayap yang beberapa saat lalu sempat terlupakan. Dikepakkannya dengan cepat, dan segera tubuh mungilnya melayang menjauhi batu yang tadi diinjaknya. Ia terus terbang, dan berhenti di sebuah dahan pohon tinggi yang dirasanya tak mungkin dijangkau oleh ikan-ikan pemangsa itu.

“Uuh, hampir saja. Untung aku ini makhluk yang cerdas. Kalau tidak, bisa tamat riwayatku nanti. Apa kata dunia bila menyaksikan tokoh utamanya mati di tengah cerita?”

Ia melayangkan pandangan ke bawah. Tampak ikan-ikan pemangsa itu melompat-lompat seolah ingin menjangkaunya. Si merpati tersenyum lebar dan berseru kepada para penyerangnya itu.

“ha ha ha, makanya punya sayap dong biar bisa terbang! Dasar ikan-ikan tengik. Berkuasanya Cuma di air saja.”

Ia terus mengejek dan menertawakan gerombolan yang kini berbalik arah dan satu-persatu menghilang ditelan air. Setelah puas tertawa. Si cantik kini merasakan perutnya sangat lapar. Ia pun kembali terbang hendak mencari makan. Tak disadarinya seekor ular besar juga terbang dan melayang mengikuti arah terbangnya. Meliuk-liuk bagai seutas tali karet yang dipermainkan angin. Mengawasi dan siap menyerang disaat yang tepat. Sementara si calon mangsa sama sekali belum mengetahui bahaya kini kembali mengancamnya. Dan disaat mengsanya itu hendak meluncur turun mendarat ke tanah, Ular besar itu dengan sigap bergerak cepat menyambar dan membelit tubuh mungilnya.

Merpati yang tengah ada dalam gulungan besar melayang itu tersentak bukan main. Dirasakannya seluruh darah dalam tubuh tak lagi mengalir. Udarapun tak dapat dihirupnya. Dadanya serasa ingin pecah. Si ular terus membelitnya hingga mereka mendarat di sebuah tanah basah yang lembab.

Meskipun telah mendarat, Tapi Si ular belum juga melepaskan mangsanya. Ia menegakkan leher dan mengarahkan kepalanya ke arah si merpati dan membuka mulut lebar-lebar. Hawa panas segera menyelubungi seluruh tubuh si merpati. Kali ini ia benar-benar kehilangan akal. Bagaimana caranya lepas dari makhluk yang sangat menakutkan ini? Atau malah disinilah aakhir dari riwatnya?

Ia sudah putus asa dan berharap Tuhan mengampuni seluruh dosa-dosanya ketika dilihatnya sebuah bulatan merah kecil tercetak diantara kedua mata ular itu. Satu ide terlintas dikepalanya. Tapi itu sungguh berisiko. Salah-salah perkiraanya meleset dan malah mempercepat kematiannya. Tapi tak ada cara lain, Waktunyapun sangat sedikit. Dan disaat ular itu hendak membawa mangsa ke dalam mulutnya. Tanpa fikir panjang lagi si merpati mengerahkan segenap kekuatan untuk mengggeliat dan mengarahkan jari-jari kakinya ke arah kepala si ular. Segera ditancapkan dan dicengkramnya bagian yang telah diincar itu.

Di luar dugaan, Si ular tersentak seperti kesakitan. Lilitannya pada mangsanya pun terlepas. Ia berguling-guling ditanah membuat si merpati terlempar beberapa meter. Darah segar keluar dari bagian atas kepala pemangsanya, membasahi mata. Dan rahang atasnya. Ia menggelepar seperti sedang dicambuk atau dibakar api yang sangat panas. Ia terus meronta-ronta dengan hebat sementara darah terus mengucur dengan deras. Dan tek lama kemudian, ular besar itupun diam tak bergerak, kaku menjadi mayat.

Si mangsa yang melihat kejadian itu dari tempatnya menggigil ketakutan. Tanpa menunggu lama lagi ia langsung terbang meninggalkan tempat itu. Rasa takut menjadi api yang membakar tubuh dan memulihkan kembali kekuatannya.

“Ya Tuhan. Apa maksudnya semua ini? Dua kali sudah aku hampir kehilangan nyawa di tempat ini.”

Merpati cantik itu terus terbang menjauhi hutan yang meskipun indah namun sangat menyeramkan itu.


* * *


Malam merambat membawa kegelapan menyelubungi alam. Si merpati masih terbang di atas lautan. Otaknya berputar keras memikirkan segala kejadian yang telah ia alami. Dan sampailah ia di sebuah menara mercusuar yang tinggi menjulang. Tak jauh dari menara itu, Terhampar sebuah dataran kecil namun semarak benderang.

Rasa lelah membuatnya hinggap di puncak menara. Detengadahkan kepalanya ke langit. Nampak disana bintang mengintipnya dari balik awan .
“Oh Tuhan. Apa sebenarnya yang kau kehendaki pada diriku? Mengapa harus aku yang mengalami semua ini?”

Mendengar pertanyaan dari sahabatnya itu, bintang kembali turun dan menghampirinya. Iapun berkata, “Apakah kau belum menyadari betapa bergunanya keenam jari pada kakimu itu?”

“Ya! Aku tahu. Tapi,,,,,,”

“Jangan protes. Ini adalah takdirmu. Sekarang bangkitlah kembali! Terbanglah kau ke arah dataran itu!”

“Apa lagi ini?”

“Sudah kubilang jangan protes! Ceepatlah! Karna waktumu tidak banyak.”

Setelah berkata demikian bintang kembali ke langit dan benar-benar menghilang ditelan awan. Si merpati tampak kebingungan. Tapi tak ada pilihan baginya. Ia segera kembali mengepakan sayapnya menuju cahaya terang yang dipancarkan dari arah daratan itu.

Suara-suara bising segera menyambutnya. Hentakan alunan musik menggema hampir di seluruh ruangan yang tersebar merata memenuhi tanah beraspal yang keras berdebu. Ribuan manusia hilir-mudik tak tentu arah diantara gedung-gedung tinggi bertingkat. Lengkingan klakson dan mesin berbagai kendaraan yang lalu lalang tak pernah putus. Lampu-lampu jalan menyorot begitu menyilaukan. Sungguh, seperti siang di malam hari. Semua bergerak dengan cepat, Seolah tak akan ada waktu lagi untuk mereka. Asap mengepul dari Knalpot -knalpot kendaraan dan cerobong asap di beberapa gedung raksasa membuat udara begitu panas, gerah, dan pengap. Bila dihirup terasa kotor dan berbau. Sungguh manyesakkan. Tak banyak pohon rindang yang tumbuh disana, hanya rumput-rumput kecil yang telah dipangkas dan beberapa pohon kerdil yang tak segar lagi hijau daunnya. Papan-papan reklame terpancang dengan angkuhnya. Bercahaya diantara patung-patung kokoh yang seolah menantang keberadaan Tuhan.

“Astaga! Mengapa ada tempat seperti ini?” Si merpati terkejut bukan main menyaksikan itu semua. Ia terbang diantara kawat-kawat listrik yang terentang . Sementara dibawahnya membujur besi-besi penjang yang disekitarnya dihampari kerikil-kerikil kecil tak beraturan. Ia terus terbang. Sementara dibelakangnya terdengar lengkingan panjang yang begitu memekakan. Disusul oleh silaunya cahaya yang memkbawarangkain beberapa kkotak besi berjendela meluncur begitu cepat.

Tak ada kesempatan bagi merpati yang sedang terbang itu untuk mengelak. Tubuhnya terhempas jauh melayang setelah dihantam bagian depan benda keras itu. . Rasa Sakit yang amat sangat menjalari tubuh, Ssseperti remuk seluruh tulang didalam nya.

Ia berusaha keras menjaga keseimbangan tubuhnya. Dikepakan kedua sayapnya dengan tenaga yang masih tersisa. Namun itu takkan bertahan lama. Benar saja. Tenaganya mulai habis disaat ia terbang diatas hamparan luas beton yang lapang. Ia tak sanggup lagi menggerakan kedua sayapnya. Dan ia benar-benar tak dapat bertahan. Ia jatuh tersangkut diatas sayap seekor burung besi raksasa yang membumbung tinggi ke angkasa.


* * *


Sebuah sentuhan hangat menyadarkannya. Namun ia lunglai tak berdaya. Kekuatann yang ada hanya mampu membuat ia mengangkat kepala. Sementara gelap yang pekat menghalangi seluruh penglihatannya.

“Aaaah!! Syukurlah! Engkau ternyata masih hidup. Kami begitu cemas mengkhawatirkanmu.”

Sebuah suara lembut mengalun merdu di pendengarannya. Aneh, sepertinya ia kenal pemilik suara itu. Memori di kepalanya pun bekerja mengingat siapa gerangan pemilik suara itu. Dan, saat berhasil menemukannya, ia tersentak bagai disengat ribuan lebah. Bukankah itu suara tuan yang sedari kecil memeliharanya?

“Jangan dulu terlalu banyak bergerak. Kau masih terlalu lemah. Beberapa tulangmu ada yang petah. Tapi percayalah. Kau akan segera pulih. Sabarlah.” Suara itu kembali terdengar. Kali ini semakin lirih. Seperti sedang menahan tangis. Dan benar saja. Ternyata tuannya itu tak dapat menahan tangisnya.

“Kau tau?. Kami mencarimu kemana-mana. Kami takut tak dapat melihatmu lagi. Tapi rupanya kau kembali. Dan kami berhutang besar kepadamu.” Tuannya itu terus menangis sambil membelai tubuh mungil merpati itu. Tak ada kata yang terucap selama beberapa saat. Hingga akhirnya Tuannya pun berkata.

“Baiklah. Beristiraihatlah kau kembali. Jangan kawatir, kami akan menjagamu.”

Merpati itu merasakan belaian pada tubuhnya terhenti. Dan tangan lembut itupun terlepas. Disusul kemudian suara langkah menjauh. Lalu hening.

“Hai kawan kecilku. Bagaimana keadaanmu.”

Sebuah suara kembali memanggilnya. Kali ini ia tak perlu berfikir lama untuk menerka suara siapa itu.

“Apa yang terjadi pada diriku?”

“Tenanglah. Kau sekarang adalah pahlawan.”

“apa maksudmu?”

“Kau ingat dimana terakhir kali kau berada?

Si merpati berfikir sejenak sebelum akhirnya menjawab. “Seingatku aku terjatuh di salah satu sayap seekor burung besi raksasa.”

Didengarnya bintang tersenyum mendengar jawabannya. “ Benar. Dan tahukah kau apa sebenarnya burung besi itu? Itu adalah sebuah pesawat yang baru saja lepas landas membawa ratusan penumpang. Termasuk keluarga Tuanmu itu.”

“lalu?”

”Lalu pesawat itu terpaksa mendarat kembali karena kau tersangkut di salah satu sayapnya.”

“tapi bukankah itu malah merugikan? Lalu dimana letak kepahlawananku?” Si merpati kembali bertanya dengan nada tinggi.

“Perlu kau tahu. Kalau pesawat itu terus terbang. Maka ia akan hancur diremas badai yang tengah mengamuk di tengah laut. Dan tewaslah seluruh penumpang yang ada di dalamnya.”

Ia terhenyak mendengar jawaban itu. Benarkah ia yang telah melakukannya? Menyelamatkan ratusan nyawa manusia? Bintang seolah mengerti apa yang dirasakan oleh sahabatnya itu. Iapun kembali tersenyum.

“Benar. Kau adalah pahlawan itu. Dan itu karena keenam jari yang ada pada kakimu. Baiklah, beristirahatlah sekarang. Tenanglah kau bersama keluarga yang selalu menyayangimu . Selamat malam.”

Kesunyian kembali merasuki tempat dan jiwa si merpati. Mengertilah ia sekarang sebuah hakikat yang selama ini dipertanyakannya. Namun masih ada satu masalah baru yang mulai mengganggu fikirannya.

Mengapa ia belum bisamelihat apa-apa? Mengapa tak nampak wajah cantik tunnya dan indahnya cahaya yang dipancarkan bintang?




SELESAI

0 comments:

Posting Komentar

mohon untuk mengisi komentar