Pages

10 September 2008

Secercah Harapan



Semoga kelak kau bisa meneruskan cita-citaku, Ujarku dalam hati sambil mengusap rambutnya “Ya sudah main lagi sana, teman-temanmu sudah menunggu”
“Terima kasih kak, maaf sudah merepotkan kakak”
“Jangan khawatir Bim, lain kali kalau lari hati-hati ya, nanti jatuh lagi!”
“Iya kak,” Bocah itu lari kea rah dimana teman-temannya yang sudah lama menunggu kehadirannya “Terima kasih kak!!!” Teriak bocah itu sambil melambaikan tangannya.

Bima, seorang bocah kecil yang dulu selalu kubangga-banggakan. Waktu itu adalah hari terakhir aku bisa bertemu dengannya. Keesokan paginya aku harus berangkat ke Brazill untuk memantapkan teknik-teknik permainanku dalam sepak bola. Banyak harapan yang kunanti dari si Bima kecil itu. Kuharap ketika aku kembali dari Brazill aku bisa bergladiresik dengannya, mungkin juga dengan teman-teman satu timnya.

Di bandara, ketika aku akan meninggalkan bumi pertiwi ini. tak kusangka Bima kecilku berlari ke arahku. Sambil membawa si kulit bundar di tangan kanannya. Decit sepatunya nyaring ketika semakin dekat di hadapanku. Dan melemparkannya.

“Kak terima ini!,” Teriak bocah itu “Bawa bola itu ke Negara penguasa piala dunia itu!, Bima janji kalau kakak kembali ke sini dengan membawa bola itu lagi Bima akan memasukan bola itu ke gawang kakak”

Aku tersenyum lebar, selangkah maju dan sedikit menjongkok. Dan Bima pun memelukku.

“Kakak janji, berlatih terus yang rajin ya!” Tanganku mengusap-ngusap punggungnya yang penuh keringat.

Tak lama setelah itu, berlahan-lahan Bima melepaskan pelukannya dan aku kembali berdiri, melepaskan topi kesayanganku yang bergambar logo timnas Indonesia dan memakaikannya di kepala bocah itu.

“Jaga topi ini baik-baik, suatu saat nanti ketika kakak sudah tak lagi mengenali wajahmu kakak masih bisa meyakini kalau yang memakai topi ini adalah kamu”

Dia tak bergeming sedikitpun, kepalanya yang mungil dan pipinya yang tembem hanya bisa mengangguk sedih. Akhirnya sesuatu yang sebetulnya tak kuharapkan terjadi. Tepat oprator bandara mengumumkan bagi para penumpang yang menuju ke Amerika Latin segera siap-siap, teganya kaki ini melangkah berlahan-lahan meninggalkan bocah kecil itu. Ya, bocah kecil yang akan meneruskan cita-citaku.

Di Brazill itulah aku berlatih keras, demi masa depan tim sepak bola negaraku. Tapi tak hanya itu, ada sesuatu yang selalu membuatku semangat, semangat untuk kembali ke tanah air, untuk membuktikan janjiku pada seorang bocah kecil yang mungkin sekarang sudah beranjak remaja. Bima, ya Bima. Bagaimana kabarnya?. Mungkinkah dia sudah menjadi pemain sepak bola yang tangguh?. Ataukah dia sudah bergabung di timnas usia 23 tahun. Semoga itu benar-benar terjadi.

Setelah kurang lebih lima tahun aku di Negara orang, akhirnya keinginanku terwujudkan. Pagi ini aku harus segera kembali ke tanah air. Bukan orang tuaku, saudara kandungku, bahkan teman-temanku. Tapi orang yang ingin pertama kali aku temui adalah bocah kecil yang dulu memberikan aku secercah harapan untuk dapat menjadi penguasa si kulit bundar yang tangguh.

Ketika kuyakini telinga ini cukup asing mendengar kericuhan di sebuah bandara dan sesaknya dada menahan kesumpekan karena orang-orang yang kurang disiplin, aku tersadar bahwa inilah tanah airku. Di sinilah aku lahir. Dan di sinilah aku pertama kali mengenal bola. Si kulit bundar yang selalu menjadi rebutan.

Setelah aku sampai di depan gang yang cukup dilewati oleh dua mobil. Dengan muka penuh keringat, bisingnya kendaraan bermotor dan bau busuk sampah di pinggiran gang, aku juga harus berjalan kurang lebih 500 meter dari mulut gang tersebut. Selama di perjalanan aku membayangkan sebidang tanah lapang yang tepat berada di depan rumahku. Masihkah hijau seperti yang dulu?. Ataukah sudah kering kerontang seperti tubuh-tubuh di Etthiopia. Tiba-tiba aku tersentak merasa kesakitan karena kakiku seperti terpukul sesuatu yang cukup keras, maklum kakiku ini masih sedikit cidera karena kaki-kaki lawanku yang sekeras batu. Kepalaku tiba-tiba ikut sakit. Dan aku melampiaskan kekesalanku.

“Hai, kurang ajar kau, tak tahu ya kalau kakiku ini sedang sakit!!!”
“Ma, ma, maaf mas, saya tidak sengaja. Mata saya tidak bisa melihat”
“Dasar kau buta, hati-hati dong kalau pake tongkat, memang ini jalan nenek moyangmu!!!”

Seorang buta itu jalan melewati sisi tubuhku dengan kepala tertunduk dan muka memerah. Aku hanya terdiam. Sambil menahan rasa sakit yang teramat sangat. Tak lama aku menahan rasa sakit, aku kembali meneruskan perjalananku yang tidak jauh lagi. Setelah aku sampai di depan rumah, aku tak langsung masuk. Aku duduk terlebih dahulu di teras rumah dengan dialaskan tikar yang terbuat dari anyaman daun pandan seraya memperhatikan tanah lapang itu. Kunikmati harumnya bunga-bunga di halaman rumahku yang kecilLalu kubiarkan rambut-rambutku yang berantakan tak tersisir dibelai angin pada siang hari. Ternyata tak ada sedikit perubahan. Hanya sekarang sudah banyak pepohonan yang besar telah ditebang. Tapi itu pun tak mengurangi artistic tanah lapang itu.

Kulihat dari kejauhan segerombolan anak muda. Salah satu dari mereka mendrable si kulit bundar sambil berjalan menuju ke tanah lapang itu. Kurasa mereka akan bermain sepak bola, sebagaimana kebiasaan mereka pada waktu dulu. Tiba-tiba aku tersentak. Di mana sosok Bima kecilku?. Apakah dia lupa memakai topi yang telah aku berikan padanya. Kuperhatikan dengan seksama tak ada seorangpun yang memakai topi berlogokan timnas Indonesia. Di manakah dia?. Apakah dia sudah tidak tinggal di sini lagi?. Aku terus bertanya-tanya, dan pada akhirnya aku memutuskan untuk mendekati salah seorang dari anak muda itu yang sekarang sedang berkumpul di pinggir tanah lapang. Tapi sebelum aku bangkit dari tempat dudukku, kubuka tasku, kuambil sebuah benda yang selalu membuatku semangat. Benda yang pernah diberikan si Bima kecil kepadaku. Dan kupegang erat si kulit bundar itu di tangan kananku. Walaupun sudah agak kasar lapisan luarnya, tapi aku tetap merawatnya dengan baik. Aku membayangkan apa yang pernah dikatakan bocah itu akan terjadi sekarang.

“Hai maaf mengganggu, apakah kamu kenal Bima?, di mana dia?, apakah dia ada di antara salah satu temanmu yang sedang bermain itu?”
“Maaf kak saya tidak kenal Bima, saya warga baru di sini, mungkin orang yang sedang duduk di bawah pohon itu kenal kak”
“o iya terima kasih dik”

Aku segera berbalik dan berlari kea rah seorang pemuda yang di tunjuk oleh anak muda itu.

“Maaf dik mengganggu, kamu kenal Bima gak?”

Pemuda itu menoleh ke arahku. Memandangi perawakanku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dan dia pun tersenyum.

“O iya, Bima…”

Ketika pemuda itu ingin meneruskan kata-katanya terdengar suara benda yang dipukul-pukulkan ke aspal.

“Nah itu orangnya!”

Pemuda itu menunjuk ke satu sosok yang membuatku tak dapat bergerak sedikitpun. Rasanya ada sebuah petir yang menyambarku di siang hari. Dan ingin rasanya kumencabik-cabik hati ini. Dia memang menggunakan topi itu. Ya, topi yang berlogokan timnas Indonesia. Tapi benarkah itu dia. Tapi kenapa sekarang dia nampak di depanku dengan seonggok tongkat putih yang sudah dekil. Kuperhatikan dengan seksama wajahnya. Tiba-tiba dadaku sesak. Tangan kananku bergetar. Dia adalah orang buta yang tadi aku caci maki di depan mulut gang itu. Tak terasa bola yang kupegang erat di tangan kananku terhempaskan tak kenal arah. Dan memang dialah Bima kecilku.

0 comments:

Posting Komentar

mohon untuk mengisi komentar