Pages

20 Agustus 2008

Dua Kisah Cintaku



Dua Kisah Cintaku

Jalanan masih sepi. Malampun belum beranjak. Embun juga masih giat membasahi dedaunan. Dan gema lantunan Al Quran masih terdengar sayu. Tidak dekat jarak yang kutempuh dari rumah sakit ke rumah hanya untuk mengambil gitar kesayangan Rendy.

“Selamat,ya !”, ucap teman teman yang masih sering kudengar. Pesta pertunangan kami sangat mewah. Orang tua Rendy yang kaya raya tidak mungkin menggelar acara yang sederhana. Pinta Rendy membuatku tidak kuasa.

“ Sa,bolehkan aku jadi kakakmu…?”, tanya Rendy. Aku cuma mengangguk pelan. “..aku ingin jadi kakak yang menyayangi kamu,bisa memelukmu erat….,melakukan segalanya untuk membuatmu tersenyum lebar… .”

Tersenyum lebar…? Bisakah aku tersenyum lebar pada saat seperti ini? Saat Rendy tergolek lemah dengan selang selang infusnya…? Kanker Getah Bening hampir merenggut nyawanya. Kami enggak tau sampai kapan dia bisa bertahan.

Langit biru awan putih terbentang indah

Lukisan yang kuasa

Kumelayang…diudara

Terbang dengan balon udaraku….

Bait bait itulah yang sering dilantunkan Rendy dikala dia sedang bahagia. Apalagi saat aku menerima cintanya.

“ Sa, sudah waktunya kita melanjutkan hubungan ini…” pinta Rendy.”..sesuatu yang mengikat.”

“ Maksudmu..?”, tak kusadari suara makin meninggi. “… kamu tau kan, aku baru aja kuliah , belum setahun, Ren! Lagian kita kan baru kenal!”

“ Iya aku ngerti, aku Cuma enggak mau kehilangan kamu.” ,jawabnya. “ Mungkin kata bisa bertunangan dulu dan kamu lanjutkan studymu.”

Aku ingat betul saat itu dia tertunduk kecewa. Dia memang jauh lebih tua dariku,tapi terkadang kalakuannya seerti anak kecil,kemauannya ga bisa dibantah. Tapi untuk yang satu ini semua ga ada yang bisa menolak.

Tante Liz sendiri yang pergi ke Rembang untuk melamarku pada ortuku. Umur Rendy yang enggak lama lagi membuat ayahku tak kuasa menolak permintaan Tante Liz.

“ Sa, tante tau hanya kamu yang ada dihati Rendy saat ini. Lakukan apapun yang diminta Rendy. Bahagiakan dia.”, pinta Tante Liz. “… ga lama kok. Kamu tau sendirikan, kita harus siap melepas kepergiannya…kapan saja.”

Mataku hanya bisa menatap seorang ibu yang akan kehilangan anaknya, menangkap sorot mata yang pasrah.

Pagi ini Rendy bangun paaagi banget. Jarum maaaaaasih belum beranjak dari angka 4.

“Sa, kamu gak pulang?, tanya Rendy. “ Matamu bengkak!”

“Udah enggak usah peduliin aku,tidur sana !”. Rendy menatap dinding dan mencoba menarik nafas dari sela sela selang oksigen yang terpasang.

Rendy membelai dan memainkan rambutku, “Sa, kamu inget cowok yang kenalan sama kamu di Puncak itu?”.

“ Inget, yang kamu cemburuin itukan?”, Rendy hanya tersenyum.

“ Kamu enggak pernah telepon dia?”, tanyanya. “ Di mana ya dia sekarang sekarang?” .

“ Kapan aku punya nomornya?”. Dia kembali tersenyum. Tampan sekali. Belakangan ini aku merasa ada sesuatu pada diri Rendy. Entah apa itu. Yang jelas aku makin mencintainya. Tak ingin rasanya aku beranjak dari sisinya.

Rendy mengecup jemariku, “Sa,nyanyi yuk! Gitarku mana?” .

“Ya di rumah,kuambil ya!”,aku pun beranjak dan mengecup keningnya. Aneh rasanya melihat Rendy pagi ini. Tak banyak bicara…wajahnya bersinar…tampak bahagia. Dan tak biasanya dia menyuruhku pulang.

Hari sudah agak siang. Langkah kupercepat dengan menenteng gitar Rendy. Dia pasti senang,batinku. Langkah terasa berat saat… aku melihat beberapa kerabatnya berdiri di luar kamar…ada yang mengusap aiar mata… ada yang menerawang jauh. Kupaksakan kakiku melangkah masuk. Banyak dokter disana. Garis lurus seolah membelah monitor… ya Tuhan ,sudah saatnya dia pergi?.

Kuhampiri tubuhnya, kutatap parasnya, kuletakkan gitar di atas dadanya. “ Ren, ini gitarmu… nyanyi,yuk !”, ajakku. Tapi dia tidak juga bergerak… yang kudengar hanya isak tante Liz yang memecah kesunyian.

Kuletakkan pipiku di keningnya. Selamat jalan, Ren! Tapi air mataku tak ingin menetes untuknya.

I will be waiting for you, here inside my hearth

I’m the one who wants to love you more

Sekarang sudah tak ada yang mengiringiku dengan gitarnya. Tak ada Sherina ,,, tak ada lagi Rendy. Yang ada hanya puluhan pelayat yang memadati pemakaman. Yang ada hanya foto foto kami… buku hariannya… gitar kesayangannya… dan sepucuk surat.

Alvin

Jl. Diponegoro 78 Yogyakarta

Temui dia. Dia bisa mengembalikan senyum indahmu. Rendy.

©

Ren,aku lulusan terbaik tahun ini. Tidakkah kau ingin memberiku selamat…dan sebait lagu??

Air matakupun menetes disela percik air yang diterbangkan angin. Jazz putih meluncur di depanku,pria tampan dengan rambut hitam agak panjang, bermata coklat, berkemeja putih tanpa dasi…melepas kaca matanya.

“ Selamat ya!..”, Alvin mengulurkan tangannya…tetap dengan ekspresi dinginnya. “ mari kuantar pulang!”

Di surat terakhir Rendy tertulis alamat Alvin . Dan aku sudah menemukannya tapi…dia belum pernah mengembalikan senyumku. Dia dingin dan… angkuh. Ingin rasanya memecah gunung es itu,membuatnya tertawa. Aku ingin tertawa bersama. Namun, sampai dirumah pun kami tak banyk bicara, padahal sudah 2 tahun kami bersama. Tidak seperti Rendy dulu, rasanya tidak ada waktu untuk berhenti tertawa. Ren, aku merindukanmu, aku rindu candamu!!

Alvin. Siapa dia?. Kekasihku…?. Bukan! Rendy kekasihku. Tapi… selama ini aku dan Alvin…entahlah aku enggak tau. Dia selalu siap antar jemput kuliah walau tanpa ekspresi, naganterin shopping, dengerin dia curhat, bersih bersih kontrakkannya, dinner, sampai… nemenin liburan.

Pernah suatu saat kutanya, “ Vin, kamu seneng gak bersama aku?. Kamu nyaman?”. Hanya anggukan kepala yang kudapat. Dia enggak pernah liat mataku kalau aku bicara. Aku sudah menyerah…2 tahun aku mati matian buat dia tertawa tapi… . Seharusnya dia kan yang buat aku tersenyum.

Suatu malam diteras ditemani kopi panas. “ Vin, aku mau balik ke Surabaya!”

“ Ahhah…”

“ kok diem sih? Mikirin apa? Cerita dong??”, pintaku manja.

“ Kamu bisa diem gak?” , pelan sih tapi dalem.” …gak ganggu aku!”

“ Aku..ganggu? Apa sih maksudmu? Aku kan Cuma tanya?” ,aku mulai emosi.

“ Ngapain kamu tanya tanya? Apa pedulimu?” ,baru kali ini aku mendengarnya bicara lantang, tapi lagi…emosi.

“ Aku kan …”

“ Apa..? Kamu pacar sahabatku. Kamu Cuma cewek yang dikirim Rendy. Enggak lebih!” .

Kali aku yang harus mendengarnya .

“ …aku enggak bisa, Sa, gak bisa! Aku enggak bisa melupakan Devina.. Dia juga sudah bersama Rendy di sana.” ,dia menunjuk bintang yang paling terang. “ Aku enggak bisa mencintaimu seperti Rendy.”

“ Kenapa kamu enggak tolak keinginan Rendy??”, teriakku. “ Kamu tau, kamu tuh nyiksa hatimu sendiri!!”

Dia tetap menatap bintang itu. “Rendy membuat aku jatuh cinta pada Devina. Cinta yang indah…cinta yang bisa bikin aku terus melangkah. Rendy yang berada di belakangku saat Devina pergi. Dia yang menopangku. Haruskan aku menolak permintaan terakhirnya.” , suara Alvin melemah. “ Aku sudah kehilangan dua hatiku.”

.” Jadi… kamu hanya balas budi?”. Aku hanya bisa menghela nafas panjangku.

“ Maaf,Vin, aku telah banyak menyita waktumu.”

Sampai sedetik yang lalu aku kira aku akan menemukan cintaku kembali. Tapi detik ini, aku salah besar. Dua kisah cintaku berakhir tragis. Air mataku sudah menetes. “ Maaf ya, Vin! Seharusnya aku enggak menemui kamu disini. Thanks atas semuanya!” . Aku mulai beranjak pergi saat dia menatap bintang. Mingkin itu sosok Devina yang tersenyum padanya.

Kututup diaryku saat pesawat mulai Landing. Kutinggalkan semua. Aku tak ingin membuka lembaran lama. Cukup sudah tau penderitaanku. Selamat tinggal Rendy…juga Alvin. Aku kembali untuk mengabdikan diri untuk bangsaku bukan pada…cinta. *[05F2004]*

0 comments:

Posting Komentar

mohon untuk mengisi komentar