Pages

10 September 2008

teratai di atas telaga



Kurebahkan segala letihku di atas kursi belajar, ku sandarkan kepalaku dengan lembut tuk memandang putihnya atap langit kamarku. Ku menghela lega, akhirnya selesai sudah puisi kebanggaanku. Puisi yang sudah ku tulis dengan menumpah ruahkan segala emosi batin dan gejolak hidupku selama ini. Ku tegakkan kembali tubuhku di sandaran kursi, ku pegang puisiku dan ku baca kembali goresan hatiku. Dan nyanyian malam di luar sana semakin membuat terhanyut, terlarut dalam dunia maya yang kuciptakan sendiri. Dunia maya yang berjudulkan “Malamkan Menghilang”.


Malamkan Menghilang
Nyanyian burung hantu
di tengger pohon asam itu
menggelayut di urat nadiku
menghampar di syaraf otakku
sedang........
nyanyian melodi sang katak hijau
di balik rerumputan
mengeruak kepiluan hatiku
mengingatkan akan takdir yang terpatri
memvonis indahnya rembulan untukku

Sejuta bintang bersinar di langit
kan tenggelamkan oleh butanya mata
menuntunku ke titik terang
menemani malamkan menghilang
bersama diriku yang pulang kepada kesucian
putih, bersih, tak terlihat

Tak terasa tanganku menjadi gemetar. Ketakutan itu kembali menghampiriku. Sedang tangis air mataku tak terhentikan. Sekujur badanku menjadi dingin menggigil tak berdaya dan penglihatanku lambat laun kabur. Akankah sekarang waktunya aku pulang? (bisikku dalam hati).
Aku mencoba berdiri menopang tubuhku yang tak berdaya. Aku raba-raba meja belajar, berharap aku dapat menemukan obat dan segelas air putih tuk menghilangkan kekaburan penglihatanku. Tapi apa, jiwaku yang semakin gelisah membuat penglihatanku semakin gelap. Aku semakin takut dan kuayun-ayunkan kedua tanganku tuk menemukan gelas. Tapi, tanganku terlalu kuat menyampar gelas itu dan membuatnya terjatuh di lantai. Aku menjerit takut dan serpihan kaca gelas itu menancap di kakiku. Begitu sakit ku rasa. Aku menangis, jeritanku membangunkan Mama. Dengan segera, Mama menghampiriku dan memapah tubuhku ke tempat tidur sambil mengusap keningku yang penuh keringat.
“Mama , aku takut jika harus meninggalkan Mama,“
“Kamu tidak boleh bicara seperti itu, sayang akan baik-baik saja. Percayalah pada Mama. Kamu akan sembuh“
“Tapi Ma!“
“Sudah sayang, kamu istirahat dulu, Mama akan mengambil air dan perban dulu. Kakimu terluka dan berdarah. Mama akan segera kembali. Tunggu ya sayang!“
“Iya Ma, “
Selang beberapa menit, Mama sudah kembali ke kamarku dengan membawa segelas air putih dan kotak obat. Mama lalu memberikan obat padaku. Aku meminum obat itu dengan menahan rasa pahit yang begitu hebat. Dan Mama hanya tersenyum melihatku. Kemudian aku rebahkan tubuhku di tempat tidur dan Mama mengobati dan membalut lukaku yang terkena pecahan kaca gelas. Dengan pandanganku yang kabur, aku masih sempat melihat kecemasan yang begitu besar di kerut dahi Mama. Aku tahu, diriku telah membuat Mama sedih.
“Mama, apakah Papa bahagia di surga sana?“
“Asal kita selalu berdoa, Tuhan pasti akan memberikan kebahagiaan dan tempat yang mulia buat Papa.“
“Seandainya, aku mati. Mama maukan berdoa buatku?“
“Sayang, kamu tidak boleh bicara seperti itu, hanya kamulah satu-satunya orang yang Mama miliki dan Mama cintai. Mama selalu berdoa buat kesembuhan dan Mama harap kamu mampu tegar dan bertahan di samping Mama. Jangan pernah lagi kamu berputus asa karena itu membuat Mama sedih. Mama tidak mau kehilanganmu sayang. (linangan air mata kian deras membanjiri pipi Mama).
“Ma, maafin aku. Aku janji tidak akan berkata itu lagi. Aku masih ingin menemani Mama.“
“Iya, sayang Mama juga begitu.“
Dan mereka pun, terhanyut dalam isak tangis dan pelukan hangat keduannya, menghangatkan dinginnya angin malam yang bertiup di luar sana.
**********
Pagi harinya, ku rasakan badanku sakit sekali. Pandanganku masih kabur seperti tadi malam. Ku coba mengangkat tubuhku, tapi tubuhku serasa mati kaku, begitu berat dan dingin. Aku hanya mampu menggerakkan kedua tanganku saja sedang tubuh dan kakiku mati saraf. Mama masuk ke kamarku dan terpukul melihat kondisiku yang buruk. Mama buru-buru menelpon dokter pribadiku karena kondisiku gawat. Lima belas menit kemudian, pak dokter sudah di rumahku. Pak dokter memeriksaku dengan semua perlengkapannya dan Mama berada di sampingku sambil menggenggam erat tanganku. Sedang aku hanya diam membisu dan terus berdoa untuk kesembuhan. Dan aku dinyatakan lumpuh. Aku dan Mama sangat terpukul, tapi apa daya ini sudah takdir dari Tuhan. Kini lengkap sudah penderitaanku. Vonis pembutaan mataku yang tinggal 6 bulan lagi dan kondisi yang lumpuh takk membuat pasrah. Aku dan Mama selalu berjuang melawan kematian yang tertakdir untukku, agar aku lebih lama bertahan hidup, meski Xerophthalmus itu masih menggelayut di mataku.
**********
Setelah menjalani perawatan intensif selama 2 minggu. Kondisiku berangsur-angsur membaik meski setengah badanku masih lumpuh hanya tangan yang bisa menjadi penggerak hidupku. Setiap harinya aku menggunakan kursi roda sebagai pengganti kakiku yang lumpuh. Untuk menata hidupku yang baru maka aku meminta Mama agar kami pindah rumah ke daerah pegunungan. Akhirnya Mama setuju dengan permintaanku dan kamipun bersiap-siap pindah ke rumah kami yang baru di daerah bogor, kebetulan juga karena Mama ditugaskan oleh atasannya untuk mengelola perusahaan di Bogor. Hari berikutnya, aku dan Mama naik pesawat terbang menuju Bogor, meninggalkan derita penuh luka di kota Jogjakarta yang nyaman dan asri. Banyak teman-teman sekolah yang merasa kehilanganku di detik-detik pemberangkatan. Tapi aku tak peduli dengan mereka semua. Aku tahu mereka lakukan itu sambil mencium keningku dan berurai air mata hanya sebagai bentuk formalitas perpisahan saja denganku. Mereka kasihan melihatku lumpuh dan aku muak diperlakukan seperti itu. Biar saja mereka menganggapku orang koleris, memang benar aku seperti itu. Aku tak butuh orang lain dan teman-temanku, karena mereka selalu meremehkan diriku yang lumpuh ini. Aku hanya butuh Mama yang selalu tulus menyayangi dan menjagaku.
**********
Tiba saatnya aku hidup di kota baru, kota Bogor yang sejuk, asri, dan pemandangan alam yang indah. Penambah semangat hidup dan penyejuk hatiku. Pagi ini, hari pertamaku masuk ke sekolah baruku. Sekolahku cukup dekat dengan rumah, agar aku mudah berangkat dan pulang sekolah dengan kursi rodaku. Hari ini aku diantar Mama ke sekolah. Sepanjang perjalanan kami berbicang-bincang sambil menghirup udara pegunungan yang segar.
“Mama, aku senang tinggal di sini!“
“Mama juga sayang. Disini kita akan mulai semuannya dari awal. Kita tapak hari esok dengan penuh semangat, OK !“
“Oke Mam“
Tak terasa 10 menit berlalu, aku sudah sampai ke sekolah. Mama pamit padaku dan mencium keningku.
“Jaga dirimu baik-baik dan semoga sekolah barumu menyenangkan sayang!“
“Iya Ma, hati-hati di jalan“
**********
Kugerakan kedua tanganku, mengayun kursi rodaku dan menuju ke kelas XII IA3, kelas baruku yang entah bagaimana aku tak kenal pada semuanya. Bagiku semuanya terasa asing, terasing seperti tersesat di planet Pluto. Semua siswa-siswi di sekolah, menatapku dengan pandangan aneh bahkan ada yang mengataiku. “Kok bisa-bisanya orang lumpuh sekolah di sini !“ emang sekolah kita tempat penampungan orang cacat? Pakai kursi roda pula?“
Serasa sebilah pedang menusuk sembilu hatiku, sakit sekali dadaku. Namun, aku tetap tak peduli dengan cemoohan itu. Asal aku kuat, aku akan mampu mengatasi semua itu, tak peduli meski orang yang mencemoohku anak presiden. Aku tidak akan menggubrisnya. Bel pun berbunyi, aku dan Ibu guru masuk ke kelas. Aku memperkenalkan diri, lalu Ibu guru menyuruhku duduk di bangku nomor 2 bersama Delima. Delima anak yang baik hati dan pintar. Dia sangat ramah padaku. Berbeda dengan teman-teman lainnya. Mereka tidak menyukai diriku lantaran aku lumpuh dan berkursi roda. Saat bel istirahat semua teman-teman berhamburan keluar untuk jajan di kantin atau sekedar mejeng di depan kelas sedang aku selalu duduk sendiri berteman kursi roda kesayanganku. Aku habiskan waktu istirahat dengan melukis, kebetulan aku pandai melukis sejak kecil tapi sejak ayah meninggal, hobiku lantas terpendam begitu saja, saat aku asyik-asyiknya melukis di mejaku. Sebuah bola melayang di udara dan dengan cepatnya bersarang di kepalaku. Buk.....
“Aduh....sakit !“ (sambil kupegangi kepalaku dengan menahan rasa sakit)
“Eh maaf, aku tidak sengaja“ (cowok berparas tampan dan gagah itu berdiri di depanku sambil memegangi bolanya yang tadi mendarat tepat di kepalaku.
“Oh, tidak apa. Hanya kepalaku sedikit pusing gara-gara bolamu itu“
Tanpa diduga, cowok itu langsung memegang dan memeriksa kepalaku. Wah seketika parasku memerah. Tak kusangka, baru kali ini ada cowok yang perhatian sama aku.
“Aduh, gawat ini. Kepalamu sedikit berdarah. Aku anterin ke UKS, mau tidak? (bujuk cowok berparas tampan itu).
“Terserah kamu, tapi tolong dorongin kursi rodaku ya!“
“Oke, oh ya ngomong-ngomong siapa namamu?“
“Panggil saja Teratai, kamu sendiri?”
“Namaku Bagas Anggara Perwira. Panggil saja Angga. Aku anak kelas XII IA2, tetangga dekat loh! Wah lukisanmu bagus banget! Hidup banget gambarnya. (puji Angga takjub dengan lukisan Teratai)
“Ah, biasa lagi, dan terima kasih buat bantuannya.“
Akhirnya Angga mengantarkanku ke UKS dan dengan cekatan dia membalut lukaku dengan perban. Aku sangat senang dan bahagia. Angga pun menemaniku pulang sekolah. Seminggu kemudian, aku dan Angga semakin akrab. Dan senangnya lagi, sore ini Angga mengajakku ke telaga yang sangat indah. Dia memintaku menjadi pacarnya. Dan akupun menyetujui permintaannya. Teratai di telaga itulah, saksi ikatan kasih antara aku dan Angga. Angga sangat menyayangiku meskipun aku gadis yang lumpuh. Begitu juga denganku, dia sangat kusayangi karena hanya dialah yang mampu mengerti diriku. Dia berikan teratai di telaga itu untukku. Angga berpesan agar teratai itu harus terus mekar saat kita akan terpisah. Lama ku memandangi teratai pemberian Angga, pandanganku kian kabur dan kepalaku serasa berputar. Aku sudah tak mampu melihat sosok Angga di sampingku. Tiba-tiba semuanya gelap dan tak berujung
**********
Perlahan-lahan ku coba membuka mataku, tapi apa yang kulihat semuannya tampak buram sampai aku menemukan sosok Angga di sampingku yang tertidur lelap. Dan kurasakan kepalaku begitu sakit. Akupun merintih kesakitan hingga membuat Angga terbangun.
“Apa yang terjadi Teratai? Akhirnya kamu sadar juga setelah dua hari kamu pingsan. Aku sangat mencemaskanmu sayang!“
“Angga, kepalaku sakit sekali. Aku tak kuat menahannya“
“Bertahanlah Teratai, akan aku panggilkan dokter!“
Angga keluar dari ruangan dengan tergesa-gesa. Dia sangat khawatir dengan keadaan Teratai yang kritis. Akhirnya dokter dan Angga kembali ke ruangan Teratai dengan sigap dokter memeriksa Teratai dan memberikannya obat penenang.
“Dokter, apa yang terjadi?“
“Tenang Angga, kondisi Teratai hanya labil. Dia belum mampu meneima kenyataan yang ada. Semangatlah dan temani dia karena dia memiliki jiwa yang rapuh.
“Percayakanlah Teratai padaku, Dok! Aku akan selalu menjaganya. Selang dua minggu, kesehatan Teratai membaik dan Dokter mengizinkannya pulang. Selama Teratai inap rawat. Angga selalu menemaninya sepulang sekolah. Teratai semakin sayang kepada Angga bahkan setiap pulang sekolah Angga selalu menemani melukis di dekat telaga. Setelah matahari mulai tenggelam, kami berdua pulang sambil menyongsong langit yang berwarna jingga kekuning-kuningan. Sudah banyak hasil lukisan yang telah aku buat di rumah. Dan semuanya lukisannya itu berobjekkan pemandangan indah di telaga bahkan teratai pemberian Anggapun aku abadikan lewat goretan, goresan, dan coretan kuas kesayanganku pemberian almarhum Ayah. Dua lukisan yang sangat berharga bagiku adalah lukisan sketsa Ayah dan teratai pemberian Angga. Aku ingin sekali mengadakan pameran tunggal atas hasil karyaku. Aku ingin membuat Mama bangga padaku, bahwa putrinya yang lumpuh, hampir buta, dan bahkan akan segera mati mampu menunjukkan pada semuanya bahwa aku mampu berkarya dengan segenap raga dan jiwa. Akupun mengutarakan segala cita-citaku perihal pameran tunggal kepada Mama. Mamapun menyetujuinya dan mempersiapkan segala keperluan pameran tunggalku. Satu bulan telah berlalu, hari ini tibalah waktunya aku pameran tunggal. Berjuta kegembiraan menyelimuti hatiku dan berbinar-binar kedua bola mataku meski cahaya itu semakin redup di pelupuk mataku.
**********
Dengan bergaun putih keungu-unguan, aku tampak anggun di kursi rodaku dengan tawa lepas menjabati tangan para tamu undangan pameran tunggalku. Di samping kiriku berdiri Angga, kekasihku dan di samping kananku berdiri Mamaku tercinta. Mereka berdua memang orang spesial dalam hidupku, mereka yang selalu ada disampingku, di kala duka maupun suka. Betapa beruntungnya diriku memiliki mereka di saat-saat bahagia seperti ini. Bertambah pula bahagia karena Bapak Gubernur dan Menteri Kesehatan Republik Indonesia berkenaan menghadiri pameran tunggalku, pameran tunggal si gadis lumpuh berkursi roda. Beliau juga memberikan pujiannya untuk lukisan terataiku yang kupajang di depan pintu masuk pameran. Dalam pemeran itu juga diadakan lelang lukisan. Dalam sesi lelang itu, banyak pengunjung yang berminat dengan hasil karya lukisanku. Acara itu sangat meriah dan para pengunjung sangat antusias. Dari sesi lelang itupun, diperoleh dana yang cukup besar kira-kira 100 juta lebih, dan dana yang terkumpul itu aku sumbangkan untuk sebuah lembaga sosial yang menangani anak-anak cacat dan lumpuh sebagai biaya pengobatan mereka kelak. Dan akhirnya pameran, tanpa kuduga sebelumnya Bapak Menteri Kesehatan Republik Indonesia memberikan sebuah penghargaan yang sangat berharga bagiku. Penghargaan “Pelukis Lumpuh Termuda Berbakat dan Berdedikasi Tinggi“ kini melekat pada diriku. Seorang diri bernama Teratai Indah Eka Saptavi yang selalu berjuang melawan ganasnya penyakit sampai mampu meraih cita-cita. Betapa terbuainya aku dalam tepukan hangat para pengunjung pameran ketika menerima penghargaan tersebut. Merekalah senyumku mewarnai raut wajahku yang kini tampak pucat dan letih. Terbesit ku bertanya pada Tuhan “Akankah kini waktunya Engkau menjemputku?“
Kurasakan tubuhku dingin, penglihatanku semakin tak jelas, dan kepala terasa meledak. Aku sudah tidak kuat lagi. Pameran pun telah usai, semua pengunjung telah pulang. Tiba waktunya aku mengajak Mama dan Angga ke telaga itu. Ku bawa dua buah lukisan terbaikku, lukisan teratai dan sketsa almarhum Ayah. Tak lupa, ku bawa teratai pemberian Angga. Sesampainya di telaga, aku menangis. Kini tiba waktunya aku berpamitan kepada Mama dan Angga.
“Angga, Mama, terima kasih buat semuanya. Aku bahagia bersama kalian. Kalianlah pelita hidupku selama ini“ (ucapku sambil berurai air mata)
Mama dan Anggapun memeluk tubuhku erat-erat
“Sayang, kami berdua juga sangat menyayangimu“
Akupun lalu memberikan lukisan sketsa Ayah untuk Mama dan lukisan teratai untuk Angga.
“Angga tolong kembalikan teratai ini di telaga itu. Biarkan teratai ini mengalir dan menyatu dengan telaga seperti aku yang akan kembali pada-Nya’’
Setelah ku melihat teratai itu menari-nari di telaga, aku merasa lega dan tak ada beban lagi untuk meninggalkan dunia ini. Ku pandangi Angga dan Mama dalam-dalam, berharap raut muka mereka terpatri di memori otaku, terbawa ragaku saat malaikat menjemputku. Semilir angin sore pun menjadi pengiring kepergianku, begitu dingin dan sunyi. Lobus okspitalis itupun kini pecah dan kian menjalar di pembuluh darahku. Membutakan penglihatan dan mematikan saraf otakku. Yang terdengar hanya tangisan Angga dan Mama, mendekap tubuhku dan teratai itupun kembali mengalir ke telaga bersama Teratai yang pulang ke nirwana.
**********
THE END

0 comments:

Posting Komentar

mohon untuk mengisi komentar