Pages

20 Agustus 2008

Amarta

Amarta

Ting..tong..! Akhirnya kutemukan tempat terpencil ini. Ee..enggak sih, cuma agak ke pinggir kota aja. Indah banget di sini. Enak kali ya, punya rumah ber-background laut biru membentang. Pasti aku jadi anak pantai. Tapi akukan enggak bisa renang. Aku jadi malu..! Apalagi disini panas banget. Maklum di kotaku kan daerah pegunungan jauh dari laut.

Ting..Tong..! Mana sih yang punya rumah?. Gak tau orang lagi penat apa? Dua jam di pesawat bikin aku mual.

“ Hei! You nglamunin apa sih?”, tanya temenku, Nela. “ Mau ketemu Amarta aja nervousnya kaya gitu!”

“ Enggak..aku cuma bayangin punya rumah di tepi pantai kaya gini. Pasti aku udah tenggelam berkali kali mungkin!”, sambil menatap laut lepas. “..aku kan hobby tenggelam.”

“ Kalo aku kan jago berenang tapi..”

“..gaya botol!!”, kami tertawa.

“ Ye.. sirik you!”, Nela hampir mencekikku.

Enam bulan lalu aku bertemu dengan Amarta dalam Festival Kebudayaan di negeri Jiran yang diadakan sebulan penuh. Seru banget deh. Aku mewakili daerahku dan Amarta mewakili Sulawesi Utara sedangkan Nela dari Bali.

“ Sa, you perhatiin gak pramugari yang di pesawat tadi?”

“ Emang kenapa?”, tanyaku heran.

“ Tissa..Tissa, emang you gak kepingin?”, tanya Nela.

“ Apa..? Jadi pramugari..? Enggaklah! Aku malah pingin jadi Dubes aja, biar bisa bareng terus ma Amarta. Emang kamu pingin?”

“ Ya iyalah..cantik, tinggi, seksi, dan seragamnya itu lo..keren banget.”, Nela mulai berfantasi.” Pasti banyak cowok yang naksir..”.

Terdengar langkah kaki dari dalam.. .” Maaf cari siapa ya..?”, tanya wanita itu.

Hampir aja kita jatuh dari undakan.” Maaf nunggu lama ya? Saya di kamar mandi.”

Terdiam cukup lama membuat waniata itu mulai curiga. Habis dia masih muda..cantik dan..lagi hamil.

“ Kami dari Malang..Amarta ada?”, tanya Nela.

“ Oh..Amarta? Tapi dia sedang pergi..kalian temannya?”, kami Cuma mengangguk.” Kalo begitu silahkan masuk dulu..biar saya teleponkan dia”.

Makasih..”, ucapku.

Kami melangkah masuk. “ Silahkan..mau minum apa?”, tanya wanita itu ramah.

“ Apa aja juga boleh..”

Gila.. dingin banget di sini. Sejuk…,daripada diluar tadi. Kalo tadi sih langsung pingin nyebur ke laut. Oops aku kan gak bisa renang! Ruang tamu itu unik banget deh, bertema hitam putih. Semua serba hitam putih. Punya selera juga si Amarta…

Aku melihat wanita itu berjalan lambat, mungkin perutnya terlalu berat atau..bayinya kembar tiga. Nela mendekat dan membantunya membawakan toples.

“ Maaf, mbak ini siapanya Amarta?”, tanya Nela.

“ Oh ya, saya lupa, Saya Ardilla..istrinya Amarta. Kami baru aja,,,”

Aku hanya bisa tercekat mendengarnya. Gelasku terjatuh di depan kakinya. Petir menyambarku disiang yang indah..membakarku hidup hidup. Aku berlari keluar menahan tangisku.

“ Tisa, tunggu!!”, teriak Nela. Wanita itu cuma kebingungan. “ …mbak permisi dulu ya..”

“ Ya..ya silahkan!!”. Nela mengejarku, menarik tanganku.

“ Tisa, tunggu! Apa apaan sih kamu?”, Nela membalikkan badanku. “ Gak sopan tau!!”

“ Dia jahat, Nel! Amarta khianatin aku!”, aku hanya bisa nangis dipundaknya. “ Aku gak nyangka kalo dia tuh dah menikah..Kenapa dia ngasih harapan? Kenapa..?”

“ Udah..udah jangan nangis lagi! Kita cari hotel dulu yuk!”, bujuk Nella.

“ Enggak! Aku mau pulang sekarang!”, pintaku. “Aku benci Manado juga Amarta!”

“ OK kita pulang, tapi kamu tenang dulu ya..!”

Bandara terlihat lengang. Sudah sore memang dan penerbangan ke Surabaya masih 3 jam lagi. Kenapa dia bohongin aku?. Sebulan di Malaysia membuatku tak bisa berpindah ke lain hati.

“ Malam ini indah ya, banyak bintang!”, kata kata Amarta selalu terngiang ngiang di telingaku. Saat yang indah, saat kami sering menghabiskan malam di puncak Petronas Twin Tower, menyewa teropong bintang, dan mengharap bintang jatuh.

Angin bertiup kencang diketinggian hampir 450 meter. Dari atas aku melihat kota Kuala Lumpur yang membentang dan sudut wajah Amarta.

Dia memelukku hangat. “ Besok kita pulang..”, kata Amarta. “ Kita akan berpisah.

“ Jangan ngomong gitu. Emang kamu seneng kita berpisah?”, tanyaku. Hatiku damai sekali disisinya. Sebulan melakukan serangkaian tur promosi bersama, membuatku amat bahagia, memendangnya sebagai kakak yang melindungiku. Tapi nyatanya saat ini..

“Sebentar ya, Tis, telepon nih!”, Nela membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk tak bersemangat. “ Halo..ngapain you telepon telepon? Emang belum cukup nyakitin Tisa?”, Nela berjalan menjauh.

“Tunggu,Nel, kalian salah paham. Mbak Dilla udah cerita semua..”, Amarta membela diri. Dia pun memceritakan tentang keberadaan Mbak Ardilla.

“ OK, kami flight 3 jam lagi. Kutunggu kau!”, Nela menutup telepon dan menghampiriku sambil senyum senyum.”.. udahlah jangan dipikir!”

“ Kamu kok gitu sih, temen lagi susah kamu malah senyum senyum!”, kataku.

Dari arah belakang ku dengar, “ Assalamuaikum..!”

“ Walaikum salam..”, jawabku dan menoleh, memastikan betulkah itu suara Amarta?.” Amarta, kamu…”

“ Sstt..aku dah tau. Maafkan aku!”, dia mencoba meraih tanganku.

“ Ngaapin kamu ke sini? Hubungan kiat udah berakhir!”, kataku tegas.

“ Please, jangan bialng gitu. Aku sayang kamu!”

“ Apa maksudmu setelah kamu mengkhianati aku?”, suaraku makin tinggi. “ Kamu dah punya istri..hamil lagi. Kamu mau ngomong apa lagi?”.

Tapi Amarta Cuma tersenyum dan menghapus air mataku denagn tenang. “ Mbak Ardilla itu istri kakakku..Amarta Ardan, kami memang tinggal serumah.”, kata Amarta. “..masa kamu lupa namaku?”

Dia mengulurkan tangan,”..kenalkan Amarta Faza. Akhirnya aku bisa tersenyum walau air mataku masih mengalir dan masih menjabat tangannya.” Kau tetap di hatiku. Enggak ada yang lain walau kita terpisah jarak dan waktu. Aku akan berusaha berada di sisimu seperti saat di Petronas Twin Tower.”, janjinya.

0 comments:

Posting Komentar

mohon untuk mengisi komentar