Pages

10 September 2008

Biarkan Aku Memikirkanmu



Jari-jari lenturku masih menari dengan cepat di atas keyboard. Layar Laptop di hadapanku terlihat sangat tajam tapi tidak menyilaukan. Sinar yang dipancarkannya memantul di lensa kacamata. Mataku bergerak dari kiri ke kanan mengikuti kedipan pointer dengan cepat secepat tombol-tombol yang naik turun di keyboard. Inspirasi tentang cerita yang Aku buat mengalir deras untuk terciptanya sebuah novel. Kulihat ke pojok layar, dan baru 100 halaman dari keseluruhan bukuku yang terketik. Buku ini memang belum memiliki ending. Tapi awal dan pertengahan ceritanya sudah ku konsep dalam ingatan. Aku hanya tinggal menunggu peristiwa apa yang akan terjadi pada diriku sebagai inspirasinya. Karena cerita ini belum memiliki ending, jadi belum ada pula judul di buku ini. Inilah masalah yang dihadapi penulis amatiran sepertiku. Sangat sulit membuat judul yang menarik pembaca.

Setelah beberapa menit, inspirasi dalam benakku mulai menipis. Tapi itu bukan masalah. Aku hanya harus beristirahat sebentar. Mencoba merangkai kata-kata yang masih berantakan, dan yang paling penting ada di sebelah laptopku. Kurebahkan tubuh di sandaran kursi putar. Aku menoleh ke salah satu sudut meja komputer di mana tergeletak buku angkatan yang halamannya terbuka. Buku yang terdiri dari kertas lux dan full color itu adalah dokumentasi semua biodata dan foto siswa-siswi seangkatan denganku. Halaman buku itu terbuka pada bagian data kelas 3.1 dan pada deretan nama yang sudah mendekati akhir dari absen kelas. Di salah satu bagian yang aku lingkari dengan pena stabilo, terdapat foto seorang perempuan. Rambutnya panjang sebahu, kulitnya putih bersih, walaupun wajahnya tidak terlalu cantik, tapi tidak membosankan jika dilihat dan memiliki pandangan mata yang tulus. Tulisan yang terlihat jelas di situ adalah “Bandung, 25 Februari 1990. Refa Sevilla”.

Senyum manis tersungging di bibir Refa yang mungil. Tanpa sadar, aku menyentuh foto dalam halaman buku itu. Berharap bisa benar-benar membelai rambut hitamnya yang panjang terikat. Foto itu sudah selama setahun ini baru bisa aku lihat dengan mataku. Sebelumnya, aku hanya bisa mereka-reka bagaimana rupa Refa dari analisis suaranya yang lembut. Ya, begitulah aku pada waktu itu. Penglihatanku ini baru kembali lagi setelah selama lima tahun mengalami kebutaan. Selama itu aku tidak berputus asa. Aku tetap meneruskan sekolah ke SMP inklusi. Selain tetap terus berdo’a dan berusaha untuk mencarikan obat untuk menyembuhkan mata. Akhirnya pada satu tahun yang lalu, aku bertemu dengan Dokter spesialis mata yang memadukan antara ilmu kedokteran dan kebatinan. Syukur Alhamdulillah, aku sekarang bisa melihat lagi walaupun harus dibantu oleh kacamata. Karena hasil penyembuhannya tidak 100% kembali seperti sediakala.

***

“Boleh aku duduk di sini?”
Terdengar suara lembut di sebelahku. Aku dengan senang hati mempersilakannya. Refa duduk satu meja denganku setelah diperkenalkan oleh Wali kelas. Aku tak menyangka Ia akan memilih duduk disebelahku. Padahal masih ada dua kursi kosong lagi yang satu meja dengan anak perempuan.

Refa adalah siswi baru di sekolahku. Ia baru pindah dari Bandung karena tugas dinas orang tuanya di Jakarta. Anaknya baik, ramah, dan pandai bergaul. Ia tidak membeda-bedakan siapa yang akan menjadi temannya. Ia pun pernah bercerita bahwa di Bandung memiliki banyak teman yang keadaannya sepertiku. Jadi sudah terbiasa untuk berteman dengan siapa saja.

Semakin lama, kami bertaman makin akrab. Ia dengan senang hati membantuku dalam memahami pelajaran di kelas. Refa anak yang pintar dan yang lebih kusukai lagi ia sesama pencinta sastra sepertiku. Jika sedang tidak makan ke kantin, Ia sering mengajakku ke perpustakaan pada waktu istirahat untuk membaca buku novel atau antologi puisi. Dalam frekuensi kebersamaan yang tinggi itu, aku menaruh hati padanya. Namun, hal itu tak mungkin terwujud. Aku sadar diri dengan keadaanku. Aku tak ingin menyalahartikan sikapnya yang sangat baik terhadapku dengan hal lain termasuk cinta. Kebaikannya itu sangat tulus, sehingga aku tak mau merusak persahabatan kami ini. Oleh karena itu, aku hanya bisa menuangkan semua imajinasiku ke dalam bentuk tulisan saja.

“Fa, aku mau nulis novel nih” Celetupku pada suatu saat di perpustakaan jam istirahat.
“Oh ya, tentang apa tuh isinya kalo boleh tahu?”

Refa kedengaran sangat tertarik sekali dengan gagasanku. Ia mendesak untuk tahu isi cerita dari novel yang akan kubuat. Tapi aku merahasiakannya dengan maksud akan memberi surprise.
“Tapi aku janji. Jika suatu saat nanti novel itu selesai, kamulah orang kedua yang akan membacanya setelah aku”

Akhirnya kini janji itu sudah hampir dapat kutepati. Walaupun sejak lulus dari SMP kami tidak pernah bertemu lagi. Menurut kabar yang kudengar, Ia kembali ke Bandung karena tugas orang tuanya sudah selesai. Tapi aku akan tetap mengingatnya. Sampai kapanpun, janji pada sahabat yang teramat spesial.

***

Kini aku duduk di kelas 12 SMA. Sebentar lagi akan menghadapi Ujian Nasional dan sedang mencari universitas yang cocok. Ada salah satu tawaran yang sangat bagus. Karena prestasiku sangat baik di sekolah, aku ditawari untuk kuliah hukum di Belanda dengan beasiswa. Tapi sekarang konsentrasi kupusatkan untuk menghadapi Ujian yang hanya tinggal dua bulan lagi.

Teman yang berada di kursi sebelahku bernama Denis. Ia sangat baik dan sudah membantuku sejak Aku masih belum melihat satu tahun lalu. Dengannya, aku sering mendiskusikan novel yang sedang kugarap. Aku butuh komentarnya agar enak untuk dibaca. Dengannya pula aku sering curhat masa laluku tentang Refa. Walaupun tak pernah ku katakan siapa orang yang selama ini aku ceritakan. Tapi cara itu cukup efektif untuk mengembangkan ide cerita dan mengurangi beban hati.

“Kayaknya gue tahu nih siapa orangnya!” Tanggapan denis pada suatu hari.
“Maksud loh?”
“Gak jadi deh, cuman perasaan doank kok. Hehaheha!”

Itulah Denis. Sering banget bikin orang sport jantung. Tadinya Aku sudah takut sekali jika ternyata selama ini Denis tahu siapa yang kami bicarakan. “Kan tengsin banget kalo dia tahu siapa yang gue maksud!”. Gayanya yang suka humor, bikin orang banyak senyum jika berada di sisinya. Kalau soal tampangnya, aku tak mau komentar. Nanti dikira suka lagi. Tapi kata cewe-cewe di kelas, dia itu keren banget. Di sekolah ini, Denis yang kutahu tidak punya pacar. Jadi banyak cewe yang masih penasaran dibuatnya. Walaupun kelihatannya orangnya gak bisa serius gitu, ternyata Denis punya cita rasa seni yang cukup tinggi. Dia bisa kasih komentar jika cerita dalam novelku agak tidak nyambung atau kata-katanya tidak serasi.

Bantuan Denis kini dalam pengerjaan novelku sudah selesai. Buku ini hanya tinggal finishing touch dan sedikit editing dariku. Akhirnya buku itu pun jadi tepat satu minggu menjelang Ujian. Hanya tinggal diprint dan dibuat satu buku copy yang sudah kujanjikan pada Refa. Meskipun aku tak tahu di mana keberadaannya sekarang. Tapi aku punya firasat bahwa akan dapat bertemu dengannya.

***

Ujian pun selesai. Di masa-masa kosong menunggu hasil ujian, aku mempersiapkan diri untuk tes SPMB. Aku memutuskan untuk membeli buku latihan soal SPMB di toko buku favoritku. Setibanya di toko buku itu, kenangan beberapa tahun lalu datang kembali. Ini adalah toko buku di mana Aku dan Refa sering mengunjunginya. Refa menemaniku untuk membeli buku-buku sastra kemudian membantu membacakannya. Aku memandang ke salah satu meja baca dalam toko itu. Masih dapat kurasakan suara Refa di sebelahku membacakan buku dengan penuh penghayatan.

segera kutepiskan bayangan itu. Aku mengambil salah satu buku latihan soal SPMB yang tersusun rapi di salah satu rak. Tapi lagi-lagi aku tergoda untuk bernostalgia. Di sampingku kini berdiri rak buku-buku sastra yang dulu selalu jadi target utamaku datang ke sini. Kuletakan kembali buku SPMB dan beralih melihat deretan buku-buku sastra dari pengarang dalam dan luar negeri. Aku berjalan menyamping untuk melihat semua judul dalam rak itu. Tanpa kusengaja, aku menabrak seseorang yang sedang melihat-lihat buku juga. Orang yang ku tabrak itu menjatuhkan buku yang sedang dibacanya.
“Sorry gak sengaja”
Aku mengambilkan buku itu dari lantai. Kuserahkan lagi pada orang yang tadi kutabrak. Kemudian ingin ku ucapkan maaf sekali lagi kepada orang itu yang ternyata seorang wanita.

Tapi apa yang terjadi, seperti ada aliran listrik halus di tubuhku, mulutku terdiam tak mampu berkata-kata. Hanya darahku yang mengalir cepat ke kepala membantu kerja otakku membuka kembali lembaran-lembaran halus memory. Aku tak percaya. Perempuan yang ada di hadapanku sekarang adalah Refa. Wajahnya tidak berubah terlalu jauh dengan yang ada di foto buku angkatan. Refa tersenyum manis padaku mengisyaratkan “tak apa-apa kok”. Senyumnya masih tak berubah. Tapi yang Aku sesali, Ia seperti tidak mengenaliku. Entah karena aku yang sudah banyak berubah, atau Aku yang memang tak berarti baginya.

Aku tersadar dari lamunanku. Kubuka kacamataku berharap Ia sedikit ingat. Tapi tetap tak ada tanda-tanda bahwa kami sudah pernah saling mengenal. Bagai bintang yang sudah kehabisan energinya, hatiku hancur tak berbekas. Seluruh harapan dan imagi tentang Refa hanyalah angan kosong. “Ah, mungkin aku salah orang” hiburku dalam hati.

Masih tak mampu berucap, hanya senyum yang dapat kutunjukan padanya. Ia kembali membalas senyum dariku. Kupandangi lekat-lekat mata wanita di hadapanku. Pandangan yang meneduhkan hatiku yang hancur. Kunikmati detik demi detik nostalgia ini dengan sepenuh jiwa. Ingatanku kembali ke masa SMP dulu. “Andai saja aku dapat menikmati tatapan matanya sedari dulu…” harapku dalam hati.

Setelah beberapa detik yang meluluhkan hati, aku mendengar seseorang memanggil Refa. Orang itu memanggil Refa dengan panggilan mesra bagaikan hubungan mereka sangat dekat. Aku mengenali suara siapa itu. Kemampuanku untuk mengenali suara yang sudah sering kudengar tidak hilang. Anggukan kecil kutunjukan sebagai tanda perpisahan. cepat aku berbalik dan tidak lupa mencomot buku SPMB yang sudah kupilih tadi. Aku menghilang di balik rak dan berjalan cepat menuju kasir.

Di luar toko, aku berdiri di salah satu tempat yang tak terlihat. Kutimang-timang buku SPMB yang baru kubeli sambil menunggu apa benar yang barusan kulihat. Tak lama, pintu toko terbuka dan keluarlah dua orang beriringan dari dalamnya. Yang keluar lebih dulu adalah Refa. Sepintas terlihat Ia menoleh ke sekeliling dengan ekspresi wajah yang agak bingung. Lalu tepat dugaanku. Yang keluar belakangan adalah Denis. Ternyata bukan bercanda ucapan Denis bahwa Ia mengenal orang yang selama ini kami bicarakan. Mereka berjalan layaknya sepasang manusia yang saling mencintai. Aku berdiri diam terpaku di tempatku berdiri. Mataku terus memandangi mereka sampai menghilang di balik pintu sedan mewah. Senyum pahit dan penyesalan yang mendalam sajalah yang dapat ku ungkapkan pada saat itu.

Pandanganku kini beralih pada buku SPMB di telapak tangan. Kurobek label harga yang melekat di cover belakangnya. Kemudian kuberikan pada seorang penjual buku bekas di jalan yang kulewati.
***

Monitor laptop sekarang menampilkan tanda bahwa sedang melakukan proses printing sebanyak 325 halaman untuk dua copy setelah ada sedikit tambahan dan revisi. Hanya tinggal 20 lembar lagi, selesailah semua persiapan. “Mas, Denis udah nunggu di luar tuh!” Ibuku memanggil dari lantai bawah. “Ya ma, lima menit lagi kok” jawabku sambil menutup koper besar yang akan kubawa.

Ini adalah hari terakhirku berada di Jakarta. Besok mungkin aku sudah berada di Amsterdam untuk melanjutkan studi. Aku memutuskan pilihan ini karena orang tua memberi support dan mungkin memang ini pilihan terbaik buatku.

Printer sudah berhenti menguarkan lembaran kertas dari mulutnya yang tak berdaging. Kumasukan semua kertas hasil printing ke dalam tas jinjing dan tak lupa melipat laptop kesayanganku ke dalamnya pula. Setelah berpamitan dengan kedua orang tua, Aku duduk di kursi depan sedan Denis yang mewah. Denis sudah berbaik hati untuk mengantarkanku ke bandara. Tapi sebelumnya, aku memintanya untuk mampir sebentar di tukang Photo Copy.

“Den, terima kasih ya atas bantuan lo selama ini” ucapku saat mencapai batas akhir bagi selain calon penumpang.
“Ya sama-sama. Lo jaga diri baik-baik ya di sana”
“Thanks, By the way lo kenal sama yang namanya Refa kan?” tanyaku sembari mengeluarkan bungkusan berisi buku yang telah dijilid.
“Ini tolong disampaikan buat dia” kataku saat menyerahkan bungkusan itu ke tangan Denis.
“Terus satu pesan lagi, jaga dia baik-baik. Aku tahu, Refa wanita yang baik. Jadi pantas buat kamu Den” lanjutku sambil menjabat tangan Denis dan berbalik pergi.

Denis kutinggalkan dalam keadaan yang penuh tanda tanya. Ia menatapku tak mengerti sampai sosokku menghilang di kerumunan. Aku terus berjalan menuju ke kehidupan baruku. Tempat yang baru, dan orang-orang yang baru. Ingin ku buka lembaran baru dan melupakan segala yang pernah ku alami di kota ini. Tapi hanya satu yang tak dapat dan ingin kulupakan. Seorang wanita yang sudah mendapat sedikit kapling di ruang hatiku.
“ Refa Sevilla, biarkan aku memikirkanmu”.

0 comments:

Posting Komentar

mohon untuk mengisi komentar