Pages

10 September 2008

Penyesalan



“Ring, ring, ring!” suara telepon terdengar nyaring. Serentak penghuni kos beranjak dari lamunannya. Bermacam harapan di sana, “Siapa ya? Mudah-mudahan cewek gue!”, “Pasti yang nelepon cewek yang ketemu gue kemarin!” sampai bunyi itu terbungkam saat tangan kekar mengangkat dan sebuah suara meluncur dari mulut seorang laki-laki muda, berparas tampan, berkulit putih, rambut lurus panjang terurai dan terselip sebatang rokok putih di sudut kiri bibirnya. “Hallo!” Sepintas terdengar suara music di seberang telepon sampai terdengar suara, “Bisa bicara dengan Bili?”
Dalam sekejap syarap telinga mengirim data keotak kiri dan mencari pebendaharaan suara yang ada di memori otaknya, dan kenangan itu perlahan muncul kembali.

Di sebuah gedung sekolah yang asri, tiga orang anak laki-laki sedang bersanda gurau di samping wc sekolah. Disana penuh kecerian, kegembiraan dan rasa persahabatan. Ketiga orang itu adalah Putra, Makhmudy dan Bili.
Putra adalah cowo macho yang dikejar-kejar oleh cewek satu sekolah, tapi dia nggak mau ngeceng ama anak SMA, mainannya anak-anak kuliah. Dia terkenal sebagai anak paling bandel di sekolah, suka bolos tapi dia pinter bantget. Dibalik semua sifatnya itu dia sangat peduli terhadap teman-temannya yang mempunyai kekurangan. Maklumlah Sma ini adalah sekolah inklusi dimana sekolah ini menerima orang yang memiliki keterbatasan fisik.
Kalau Makhmudy orangnya sangat pendiem. Cowo alim ini memiliki postur tubuh paling culun satu sekolah, padahal wajahnya lumayan ganteng sih! Tapi peci sinchannya (gitu anak-anak nyebutnya) yang melekat setengah di kepalanya bikin dia tambah culun. Maklum, namanya juga anak Rohis panatik!
Kalau yang namanya Bili, adalah cowo paling cool satu sekolahan. Parasnya ganteng, berkulit putih, rambut lurus dan perawakannya atletis. Sayang dia punya kekurangan, kekurangannya dia buta, dia nggak bisa ngeliat. Walaupun demikian, tapi hasil akademisnya cukup bagus, bahkan dia selalu masuk dalam lima besar.
Intinya, ketiga cowok ini adalah cowok yang paling-paling di sekolah.
Bili sangat mengenal karakter suara kedua temennya itu, maklum dia ngenalin orang dari karakter suaranya nggak bisa lewat tampangnya. Putra mempunyai karakter suara paling seksi, suaranya bisa merontokan hati semua ABG di sekolah, jangankan cewek-cewek, bencong sekolah aja sampek ngidam-ngidam pengen makan pita suaranya.
Kalau Makhmudy ngomongnya lembut banget. Maklumlah orang solo! Dan karakteristik suaranya nggak ada yang nyamain di sekolah, maksudnya sih yang cowok! Soalnya suaranya lebih mirip kesuara cewek!

Lamunannya terbuyar saat terdengar suara di seberang telepon, “Bilinya ada?”
“Ia Put, ini gue sendiri! Pa kabar lo? Uda lama banget nggak ketemu!”
Kata-kata langsung saja meluncur, mungkin uda kangen banget!
“Gue baik-baik aja, kalau lo gimana?”
“alhamdulillah gue baik-baik juga, ya… seperti apa yang lo liat sekarang! Maksud gue lo denger!”
“Bagus deh kalau gitu! Btw katanya lo sekosan ama Makhmudy ya?”
“Yup, that’s right!”
“Gini Bil, temen-temen SMA kita ngadain acara reoni satu angkatan”
“Yang bener! Sumpah lo?”
“Ia, besok lo dengan Makhmudy gue jemput jam tiga, jangan lupa dandan yang ganteng ya!”
“Ok bos”
“And satu lagi, jangan biarkan Makhmudy berdandan culun, soalnya banyak cewek-cewek! Gue nggak mau reting gue turun gara-gara dia!”
“Ok komandan! Laksanakan!”
“klik” gagang telepon di tutup dengan lembut, setelah itu Bili berhambur ke kamar dan mencari sosok culun yang tidur meringkuk di sudut kamar.
“Aaaaauuuuuuuu!!!!”
“Kenapa lo!”
“Mbok ya kalau jalan hati-hati napa!”
“Lagian siapa yang jalan, orang gue lari!”
“Lagian ngapain sih lari-lari siang-siang bolong?”
“Gini dy, Tadi Putra Nele,”
“Terus gimana kabarnya? Dia kuliah di mana? Terus dia uda punya cewek belum? Dia masih”
“Lo nanyak-nanyak, tapi jangan ujan lokal gini dong!”
“Kan hawa orang berpuasa wangi kasturi toh?”
“Kasturi, bau naga kalik!!!!”
“Sory deh”
“Udah deh, intinya besok kita disuruh siap siap untuk”
“Untuk apa?”
“Santai dulu napa! Kita mau reonian ama anak satu angkatan waktu di SMA!”
“Terus si eny itu ikut nggak dia ya? Terus gimana kabarnya, tapi masih cantikan?”
“Apaan sih, udadeh yang penting lo besok siap jam tiga, Putra bakal jemput kita, dan satu lagi, berpakaian rapi nggak boleh kayak biasanya, Putra nggak mau retingnya turun gara-gara penampilan lo! Ok!”
“Itu anak kok nggak berubah-berubah ya, kenapa dia nggak bisa nerima aku apa adanya? Wong aku kayak gini hoby!”
“Itu sih bukan hoby, tapi penyakit!”
Serentak lengan Makhmudy mulai menggeluti tubuh Bili dan kedua sahabat baik itu bergumul di kamar kos yang tak layak itu.

* * *

Bili dan Makhmudy sudah berdiri dari jam empat kurang di depan kos. Mereka dengan gusar menunggu Putra yang jangankan batangnya, idungnya aja belum kelihatan.
“Lama tenan si Putra ini, janjinya jam tiga, tapi jam segini belum muncul juga, namanya juga jam karet!”
“Sabar donk, mungkin Putra sedang dalam perjalanan, do’ain aja biar dia selamat!”
“Ya Allah, semoga amal ibadanya diterima!”
“Hus, emang Putra mati apa?”
Dari kejauhan terdengar suara mobil yang sudah tidak asing lagi di telinga Bili.
“Tu dia dia udah dateng!”
“Kok mobilnya ganti sih?”
“Kayanya nggak deh!”
Mobil sedan merah itu mulai merayapi halaman kosan Bili dan Makhmudy, sepintas wajah Putra nanpak menyeringai di sepion kiri mobilnya.
“Gue dandan dulu ya Bil!” bisik Makhmudy ditelinga Bili.
Perlahan mesin dimatikan dan nampak dari balik kemudi Putra yang memakai kemeja biru tua, celana hitam dan rokok putih menyelip di bibirnya. Langkah itu pelan tapi pasti menuju ke arah Bili. Bili sadar betul bahwa Putra akan mengagetkannya dan tercium aroma kolon yang sangat dikenalnya.
“Udahdeh, gue nggak bakalan kaget!”
“Kok lo tau sih Bil kalau gue mau ngagetin lo?”
“Guekan uda ngeliat”
“Masak sih?”
Putra mendadakan telapak tangannya di depan wajah Bili dan nampak senyum simpul di wajah Bili.
“Lo ngapain? Lo percaya ya kalau gue uda bisa ngeliat?”
“Sialan lo!”
“Ha ha ha” kedua sahabat itu berpelukan erat dan nampak di wajah mereka keceriaan yang sudah lama tidak mereka rasakan.
“Katanya jam tiga, ini udah jam berapa coy?”
“Baru jam tiga lewat lima puluh, masih jam tiga kan?
Dan mereka tertawa terbahak-bahak.
Dari balik pintu, nampak Makhmudy yang setia ditemani topi sinchannya. Dia keluar terperanga melihat kedua sahabat itu berpelukan.
“Ya gusti-gusti, iki mala homoan di depan kos, mbok ya kalau mau homo di dalem dong!”
“Sialan lo”
“Btw, kok lo masih dandan kayak gini sih?”
“Ya ini hoby kok, melarang hoby itu sama aja melanggar hak azazi manusia tho!”
“Itu bukan hoby, itu penyakit!”
“Gue suka gaya lo Put”
“Gue nggak mau tauk, pokoknya lo harus perbaiki dandanan lo!”
“Ok, Ok, tapi aku nggak punya pakaian sepertimu Put!”
“Miskin banget sih lo!”
“Udah deh, di mobil gue ada baju, lo pakai aja”
“Sekarang bos?”
“Ya sekarang!”
Makhmudy beranjak kemobil Beni. Dengan gerak cepat dia mengganti baju dan entah sengaja atau tidak, dia menganti pakaian di halaman kos hingga orang-orang berteriak histeris.
“Gimana, udah keren belum?”
Makhmudy berkemeja orange, celana panjang hitam yang keduanya serba kedodoran. Putra hanya tersenyum dan menuntun Bili ke arah mobil.
“Yok kita berangkat!” Teriak Putra.
“Mbok ya kita fhoto-fhoto dulu toh!” Usul Mahmudy.
“Jangan, nanti salah satu ada yang meninggal lagi?” Bantah Billy.
“Ah, zaman moderen seperti ini masih percaya mitos!” Tegas Mahmudy lagi.
Mahmudi menaroh kamera otomatis di kap mobil dan mereka bertiga berpose.
Dalam hitungan menit mereka telah berlalu menghilangkan jejak dari tempat kos yang lebih mirip sarang Makhmudy!

“Dak, duk, dak duk” Sound yang bising membikin pusing. Bili Putra dan Makhmudy dengan santainya masuk melalui pintu utama.
“Put, HIP gue kumat nih!”
“Apa! Lo kena HIV? Sejak kapan?”
“Lo jangan berpikiran yang negatif dulu dong! HIP itu Hasrat Ingin Pipis!”
“Oh! Ya udah, Dy lo anter Bili ke toilet dulu ya? Gue mau nemuin HTS gue dulu ok!”
“Baik bos!”
Dengan perlahan Makhmudy menuntun Bili ke WC yang letaknya di pojok kiri ruangan.
Di sisi lain, Putra sedang bercakap-cakap dengan dua orang wanita cantik. Seorang berkulit putih susu, berambut ikal, dengan wajah yang sempurna. Bagian tubuhnya berisi di tempat yang diinginkan. Yang satu lagi, gadis tinggi semampai berdara latin yang cantiknya tidak kalah dengan gadis yang tadi.
“Halo cewek-cewek, lagi pada ngapain?”
“Oh ya Ben, ini Sovie temen aku!” Bisik gadis hitam manis kepada Putra dan melanjutkan dengan mengkecup dagu Putra.
“Putra” Tegas Putra sambil mengulurkan tangannya.
“Sovie” Gadis putih susu itu menyambut tangan Putra dengan agak malu dan terlihat lesung pipinya saat dia merekahkan senyum manisnya.
“Kamu kesini dengan siapa?”
“Ma kedua sohib gue!”
“Siapa aja tuh?”
“Si Makhmudy dan…”
“Tunggu-tunggu, Makhmudy anak yang paling culun sesekolah itu kan?”
“Betul sekali!”
“Kok kamu mau sih jalan ma dia! Nggak takut pamor kamu turun?”
“Nyantai kalik!”
“Terus satu lagi siapa?”
“Si Bili”
“Oh si cool and ganteng itu!”
“Yup, that’s right!”
“Oh… coll & ganteng!? Mau donk dikenalin, aku lagi nggak punya kecengan nih!” Tiba-tiba gadis berdara indo itu buka suara.
“Tapi dia lagi ke kamar mandi tuh” Jawab Putra sambil menjemput hp di saku celananya. Mungkin karena perbuatan Putra inilah, Sovie si cewek indo ini punya ide brilian, “Kalau nomor teleponnya boleh minta nggak?”
“Hp aja ya?”
“Boleh, malahan lebih bagus!”
“081322777***”
“Thanks berat ya!”
“Itu dia orangnya!” Teriak Putra sambil menunjuk dua orang pria yang sedang berjalan membelakangi dan masuk ke dalam ruangan pesta.
“Yang mana?” tanya Sovie.
“Yang itu tu!” Teriak Putra sambil menunjuk ke arah Bili.
“Oh, yang tinggi keker putih itu?”
“Yup, betul sekali!”
“Ok deh Ben, thanks berat ya!”
Kedua cewek itu berlalu dan tanpa ragu Putra menyusul kedua temannya yang sedari tadi menunggu di dalam.

* * *

Malam telah meranjak jauh, dewi malam kian berseri diiring bintang gemintang yang menari. Di peraduannya sorang insan dilanda gunda. Tunduk tersungkur di kaki takdir, memandang kosong pada pandangan yang kosong, mencari arti mimpi yang kian menghantui.
“Bib, bib, bib”
Getar telepon membuyarkan hayalan yang tlah dibangun satu jam yang lalu. Dengan perlahan tapi pasti, Bili meraba tombol dan menekannya.
“Halo” Suaranya lemas tapi terdengar seksi.
Lama tak ada jawaban, sampai terdengar satu suara, “Halo, ini Bili ya?”
Suara itu sangat menyejukan.
“Maaf, ini siapa ya?”
“Aku Sovie”
Seluruh syaraf bekerja untuk mencari dimana letak dia menyimpan seluruh berkas orang yang bernama Sovie di memori otaknya, tapi tak kunjung ada respon dari sana.
“Maaf, kita belum kenal ya? Kamu tau nomor dan nama aku dari siapa?”
“Dari temenku!”
Lama mereka saling bicara. Satu jam, dua jam, hingga tak terhitung waktu lagi. Mereka sering telepon-teleponan dan mereka sudah semakin akrab, hingga suatu saat, “Bil, kamu mau nggak ketemu ama aku?”
Sesaat suasana hening, di dalam hati bergejolak antara rasa senang dan takut. Senang akan bertemu dengan orang yang dia kasihi dan takut akan ketahuan bahwa dia seorang buta.
“Bil, kamu dengar aku?” Suara itu membuyarkan lamunannya.
“ak… ia, kapan kamu mau ketemu?” Sepontan kalimat itu meluncur dari mulutnya.
“Besok, di taman kota, kita ketemu jam 3 sore ya!”
“Ok,”
“Btw kamu pakek baju apa?”
“Mungkin aku pakai kaos biru polos dan celana lepis biru pula, kalau kamu?”
“Aku pakai baju putih dan rok warna abu-abu”
“Kok kaya anak SMA sih?” kembali mereka tertawa dan melanjutkan lelucon yang konyol.

* * *

Lembayung senja menggantung di cakrawala, bocah berlarian disekitar taman, bunga-bunga berseri dan kumbang menari kian kemari.
Di sebuah bangku taman, seorang pria duduk sambil memegang tongkat putih bergaris merah. Raut wajahnya tampak tenang, tapi di hatinya riuh gejolak jiwa terus menggema.
“Apa mau dia nerima aku setelah dia tau siapa aku sebenarnya?” Bisiknya dalam hati.
Lama dia merenung membayangkan apa yang kelak terjadi. Hening, hening sekali, seakan seisi dunia tau bahwa dia sedang menangisi takdir diri.
“Nggak, aku nggak boleh cengeng kayak gini. Aku harus tegar, aku harus nunjukin siapa aku sebenarnya.” Tegasnya dalam hati.
Lamunannya terbuyar saat aroma wangi tiba-tiba menghampiri penciumannya dan dalam hitungan detik bangku taman bergoyang dan dia tau persis bahwa ada orang lain yang duduk di bangku tersebut.
Di sisi lain, wanita cantik berkulit putih susu, berbaju putih dan memakai rok abu-abu duduk di sebelah Bili. Matanya yang sipit melebar untuk mencari sosok yang ingin dia temui.
Gerak matanya terhenti saat dia menemukan sosok di sebelahnya dan dia sadar benar bahwa sosok itu sangat mirip dengan ciri-ciri orang yang ingin dia temui. Sekilas tampak senyum manisnya merekah, tapi menciut kembali saat dia melihat tongkat putih yang Bili bawa dan dalam hati dia bertanya, “Apakah Bili itu tidak bisa melihat? Apakah dia buta?” Dia berpikir keras untuk melawan rasa gunda itu dan dia mempunyai ide, “Sebaiknya aku telepon Bili!”
Lama terasa detik berlalu menunggu dengung nada sambung, wajah harap cemas bercampur rasa kecewa yang mendalam saat didengarnya suara dering telepon di sebelahnya. Sepontan dia berdiri dan memandang tajam ke arah Bili dengan wajah merah padam dan tanpa ragu dia mendekati Bili yang sedari tadi duduk gelisa sembari memegang erat tongkat putihnya.
“Bili, jadi kamu…” Suara Sovie terdengar parau dan diiring isak yang mendalam.
Bili terkejut mendengar apa yang didengarnya, seakan-akan dia tak ingin mendengarnya. Dia sadar betul siapa orang yang ada di hadapanntya dan dia sadar betul apa yang telah terjadi saat ini.
“Sovie kecewa, dia nggak bisa nerima kalau aku ini buta!” Gumamnya dalam hati.
Lama mereka terdiam, hanya terdengar desing angin yang mendramatis suasana di taman mengiringi isak Sovie yang masih tak bisa percaya dengan apa yang didapatinya, sampai terdengar suara, “Maaf Sovie, aku nggak jujur ama kamu kalau aku nggak bisa melihat, aku buta!”
Sovie hanya terdiam, dia memandang Bili dengan dalam. Andai saja Bili bisa melihat, dia pasti tau apa yang dirasakan Sovie antara rasa sedih dan kecewa. Sovie sadar betul bahwa dia menyayangi Bili dan dia sedikitpun tak benci kepada Bili. dia kecewa karena Bili tak jujur kepadanya.
Hening, suasana kembali hening. Keduanya memadukan pikiran dan perasaan, otak dan hati. Dan riuh kembali mengganggu saat terdengar langkah kaki Sovie berlari meninggalkan taman. Bili sadar betul apa yang telah terjadi dan dengan spontan dia berteriak “Sovie!!!” dan diapun berlari mengejar Sovie diiringi tongkat putihnya.
“Tuhan, tidak adilkah baginya jika aku berlaku ini kepadanya? Tolong tuhan, berikanlah kekuatan pada hatiku agar aku bisa menerima dia apa adanya!” Sovie menjerit dalam hati dan masih berlari menelusuri jalan taman hingga dia tersadar saat dia telah melintasi jalan raya. Tapi dia terkejut saat melihat Bili berlari mengejarnya dan melintas menyebrangi jalan raya. bersamaan dengan itu mobil sedan putih melintas dengan kecepatan yang tinggi menuju tepat ke arah Bili.
Spontan kecemasan mengelayuti sanubari, Sovie berpikir apa yang harus dia lakukan. Tanpa pikir panjang dia berlari ke arah Bili dan berniat untuk menolong Bili, tapi waktu terlalu lama, gerakan terasa menjadi lambat, lambat sekali. Tapi Sovie berhasil mencapai Bili saat tepat mobil sedan putih itu menghantam tubuh mereka Berdua.

* * *

Remang-remang saat Sovie melayangkan pandang. Tak ada yang jelas, hanya kunang-kunang yang terbang melayang menghalau pandang. Kabut mendung datang dan hujan membasahi angan. Tak ada lagi secerca cahaya harapan, hanya gelap pengap yang menanti di hadapan. Sesal tiada berarti, walau tangis tak jua henti, hanya satu yang pasti, tak akan tampak lagi indah kini. Dan satu yang pasti, hanya bisa membutakan mata, hati dan naluri.
Lamunannya terbuyar saat didengarnya, “Maaf nona, anda…”
“Ada apa dengan saya dok!” Sovie tau persis bahwa dia sedang berbicara dengan dokter.
“anda mengalami kerusakan parah pada bola dan syaraf mata, jadi anda tidak bisa melihat” tegas dokter datar.
Perlahan butiran bening mengalir di sudut mata yang sedari tadi basa.
“Lalu teman saya dok?” Pertanyaan itu spontan meluncur dengan suara agak serak dan diiring isak yang mendalam.
“Kami mohon maaf, nyawa teman anda tak bisa tertolong”

Bandung 11 10 06

0 comments:

Posting Komentar

mohon untuk mengisi komentar