Pages

10 September 2008

Di Akhir Cerita


Setelah aku membayar semua administrasi rumah sakit, aku menuju ke kamar kecil untuk membenahi diri. Kamar kecil itu kotor dan beraroma tidak sedap layaknya kamar mandi umum di rumah sakit. Terdapat bercak-bercak kecoklatan di wash tufelnya. Ku lihat ke cermin yang terletak persis di atas was tufel itu. Hanya ada kira-kira seukuran wajah yang masih bersih sehingga paling tidak bisa digunakan untuk melihat wajah sendiri. Di sana terlihat wajahku sembab dan mataku merah seperti orang sedih yang semalaman menangis. ‘hmmm, memang aku habis menangis semalam’ pikirku. Ketika aku sedang sibuk memperhatikan wajahku di cermin, aku dikejutkan oleh bunyi bip dari arloji digitalku. “hah, sudah jam 8 pagi, alangkah cepatnya waktu berjalan”.

Ku langkahkan kaki di lorong-lorong rumah sakit yang gelap dan sepi. Hanya beberapa bangku panjang yang berderet di pinggir lorong. Jam segini memang rumah sakit masih sepi, hanya ada beberapa orang yang tertidur karena kelelahan menunggu mungkin sanak keluarganya yang sakit. ‘kalau aku, ingin menunggu siapa lagi di sini?’ tanyaku dalam hati. Saat aku berdiri di depan pintu bercat putih, aku melihat beberapa orang suster sedang mendorong tempat tidur berjalan yang di atasnya seperti ada sesosok tubuh yang terbaring kaku. Ku rapatkan tubuhku ke daun pintu untuk memberi jalan yang luas bagi mereka. Saat meja berjalan itu lewat tepat di hadapanku, aku melihat seorang perempuan muda yang sudah wafat dan sepertinya ingin dipindahkan ke kamar jenazah. “innalillahi Wa inna ilaihi Raji'un…” bisikku mengucap do’a. Setelah mereka hilang dari pandanganku di ujung lorong, langsung ku membalikan badan dan mendorong pegangan pintu yang tidak terkunci.

Kamar inap itu terlihat remang-remang dan wangi bunga mawar yang selalu ku ganti setiap hari. Aku melangkah ke jendela dan menarik tirai yang sedari tadi masih tertutup menyembunyikan cahaya kemilau matahari pagi. Pelan-pelan ku buka jendela yang seketika terasa angin segar menyapu wajahku. Di bawah pandangan mataku terlihat hilir mudik kuda-kuda besi yang tengah mengantar tuannya ke mana saja. Asap emisinya membuat kabut tipis jika dilihat dari ketinggian lantai 14 gedung ini. Tapi semua aktifitas kota Jakarta yang serba menjemukan itu, masih tidak dapat menyaingi segarnya udara pagi yang paling tidak bisa mengurangi sedikit beban pikiranku.
“Pras…, itu kamu?” terdengar suara perempuan yang asalnya dari samping tempatku berdiri. Ia adalah Rindia, gadis cantik penghuni ruang inap ini dari sejak 1 bulan yang lalu. Selama ini aku terpaksa meninggalkan kuliah demi merawatnya yang hanya hidup sebatang kara di kota yang kejam ini.
“hai rin, sudah bangun?. Sorry kalau berisik, biar aku tutup lagi ya jendelanya?”
“Tidak usah, aku suka kok udara pagi”. Tersungging senyum manis di wajah ayu rindia yang terlihat agak kurus dari sejak 1 bulan lalu.
“Bagaimana, nyenyak tidurnya?”
“Ya, tapi rasanya aku masih mengantuk…” Rindia kembali menghenyakkan tubuhnya di tempat tidur.
Yang aku tahu, Rindia masih dibawah pengaruh obat penghilang rasa sakit oleh karena itu Ia akan selalu merasa mengantuk. Hal itu dilakukan dokter karena sakit kepala Rindia yang datang tiba-tiba sangat menyiksa dirinya.
“Pras, thanks ya bunganya. By the way, kok wajahmu kelihatan suntuk sekali?” tanya Rindia yang sedang menikmati wangi bunga mawar dariku.
Pertanyaan yang tiba-tiba itu membuatku terdiam untuk beberapa saat.
“Oh tidak apa-apa, mungkin karena semalam banyak nyamuk jadi aku tidak bisa tidur!” jawabku sambil mengutas senyum yang agak dipaksakan.
Aku hanya berbohong dengan kata-kataku yang tadi. Mana mungkin tak ada apa-apa dengan kejadian beberapa menit yang telah menghancurkan cita cintaku selama ini.

*****

Saat itu Rindia sudah diberi penenang oleh dokter sehingga Ia langsung tertidur dengan wajah yang menyisakan ekspresi rasa sakit yang sangat. Aku masih duduk di samping ranjangnya untuk melihat sekeliling bahwa segala sesuatunya sudah ok sebelum ku tinggal pulang sebentar. Sebelum mematikan lampu yang letaknya persis ada di seberang ranjang tempatku duduk, aku berbisik pamit di telinga Rindia dan kemudian menjulurkan tangan untuk mematikan lampu duduk. Karena letaknya agak jauh dari jangkauan, aku sedikit mencondongkan tubuh untuk dapat menggapainya. Sehingga pipiku seperti mengenai bibir Rindia. Pada saat yang bersamaan, tanpa ku sadari pintu kamar sudah terbuka dan berdiri seorang perempuan dengan gemetar di ambang pintu. Aku mencoba melihat siapa yang datang dan dari sorot samar-samar cahaya lampu duduk, ku lihat wajah seorang perempuan yang selama ini ku tunggu kepulangannya. Sebelum aku dapat menunjukan rasa kegembiraanku, Findia langsung bergegas pergi disertai bunyi bantingan daun pintu. Untuk sesaat aku tak dapat mencerna apa yang terjadi, tapi setelah aku menyadari pose antara aku dan Rindia sekarang ini, aku langsung tahu bencana apa yang akan terjadi beberapa saat lagi.

*****

Kamar tidurku seperti biasa masih terlihat rapi dan bersih. Tentu saja bukan karena aku yang rajin merapikannya, tapi berkat adanya pembantu rumah tangga yang setia di rumah ini. Orang tuaku yang terlalu sibuk dengan karir, membuat tugas untuk mengurus rumah harus diserahkan kepada pihak ketiga di keluarga ini. Sekarang mereka sedang berada di Benua Amerika untuk perjalanan bisnis sejak setahun yang lalu. Bahkan pada saat idul fitri saja mereka tidak pulang dan hanya bercakap-cakap melalui telephone denganku. Layar monitor PC masih menyala dengan sinarnya yang tajam dan detail. Di tampilan desktopnya masih pula bertahta wajah Findia yang imagenya aku ambil sesaat sebelum ia berangkat ke Australia. Jendela kecil yang menutupi sebagian besar dari tampilan desktop itu, ada Mozilla Firefox yang sedang membuka web mail dengan beberapa kata yang posisi kursor siap pada tombol ‘send’. Waktu di arloji digitalku sudah menunjukan pukul 11:00 PM. Tapi aku masih berbaring dengan kepala beralaskan dua telapak tangan dan pakaian yang masih belum berubah sejak ku jejakan kaki di lantai rumah ini beberapa jam lalu. Mataku tak bisa terpejam, di hadapanku terus berputar kenangan-kenangan manis saat aku berdua dengan Findia dan kemudian sesekali diselingi dengan peristiwa menyakitkan di lapangan parkir rumah sakit.

“Huh, findia masih saja tetap cantik seperti dulu, bahkan lebih sekarang” ucapku menghibur. Tak ada percakapan antara aku dan findia pada saat di lapangan parkir. Ia langsung menaiki taksi yang sudah menunggu dan pergi tanpa aku sempat berkata satu patah kata pun. Selama aku memandangi langit-langit kamarku yang kosong, aku merogohkan jari jemari ke saku jaket yang ada di samping tubuhku. Ku raih handphone yang ada di dalamnya dan mencari-cari nomor handphone yang sudah satu bulan ini tidak aku hubungi. Tapi di saat mataku menatap tulisan Princes Fin, Aku meletakannya kembali ke saku jaket putus asa. Tak akan ada gunanya jika aku menghubunginya sekarang di saat semua keadaan sangatlah keruh. Lebih baik aku menunggu sampai semuanya tenang. Ku tegakan tubuhku dan duduk di pinggir tempat tidur. Jari-jari letihku mencengkram kepala yang terasa berat dengan semua pikiran yang bergejolak sekarang. Tentang tanggung jawabku terhadap Rindia yang hidup sendirian dan sikapnya yang haus kasih sayang dari orang terdekatnya. Kemudian berganti dengan kenangan yang membanjir antara aku dan Findia ketika pertama kali bertemu di angkot dan di saat Ia memberitahuku untuk pergi melanjutkan studinya ke Australia. Tak kurasa air mata mengalir membasahi pipiku yang terlihat agak cekung karena kurang makan dan tidur akhir-akhir ini. Air mata ini luapan perasaan antara sedih karena tidak ingin kehilangan cinta yang selama ini aku tunggu, kebingunganku entah harus mementingkan Rindia yang sedang kesulitan atau Findia yang tak akan pernah tergantikan, dan bahagia karena Findia sudah pulang lebih cepat dari studinya.
“Rupanya Findia menepati janjinya kepadaku”
bersamaan dengan kata-kata itu, mataku menangkap kembali bayangan layar komputer yang menyala terang. Ku dekati kursi yang terletak di depan layar tersebut dan menghenyakkan diri di atasnya. Mataku meneliti lagi beberapa kata di jendela Firefox yang isinya antara lain menjelaskan kejadian selama sebulan belakangan ini dan meminta maaf atas sikapku untuk menutupinya serta senang atas kepulangannya kembali di tanah air. Segera sambil diiringi do’a agar Findia mau membacanya dan mengerti tentang semua ini, jari-jari tangan kananku meraih mouse yang tergeletak pasrah di sisi layar dan dengan jari telunjuk segera ku klik pada tulisan ‘send’. Setelah layar berganti tulisan yang mengkonfirmasikan bahwa e-mail telah terkirim, ku tutup jendela itu dan sekarang terlihat penuh sosok Findia yang memegang koper sesaat sebelum Ia berangkat ke Australia. Mataku tak akan pernah lelah untuk memandang wajah yang semakin di amati semakin indah itu.
“As If you know, I love you without anything, except all my soul”.*

Lamunanku buyar saat kulihat suster yang berpakaian putih bersih masuk dari pintu yang sedari tadi tidak terkunci.
“Selamat Pagi suster” sapaku dengan senyum terbaik di wajahku yang tetap tidak bisa menyembunyikan kesedihan di dalamnya.
“Ya selamat pagi, nah mbak Rindi, mari saya bantu berkemas”
“berkemas, memangnya saya mau ke mana sus?” tanya Rindia dengan wajah bingung dengan pandangan bertanya ke arahku. Aku hanya tersenyum kecil yang mengisyaratkan bahwa tidak akan ada apa-apa.
“Lah mbak Rindi belum tahu, mbak akan pulang dan dua minggu lagi akan dibawa untuk berobat ke Amerika Serikat” jelas suster yang sedang membantu Rindia untuk duduk bersandarkan tumpukan bantal.
Dengan cekatan, suster mengeluarkan pakaian santai dan rok panjang hitam dari tas yang ada di bawah tempat tidur Rindia. Suster itu memberiku senyum singkat sambil melambaikan tangan ke arah pintu menyuruhku keluar sebentar karena Rindia harus berganti pakaian. Aku menuruti perintah suster dan bergegas keluar ruangan. Setelah menutup pintu di belakangku, aku menyusuri lorong dan turun ke lantai dasar menggunakan lift untuk ke kantin rumah sakit.

Di sana aku berniat hanya untuk membeli dua batang coklat. Setelah membayar sejumlah uang, aku memasukan dua batang coklat itu di dalam saku dan hendak untuk kembali ke ruang inap sebelum pada saat itu ada yang menepuk bahuku dari belakang.
“Hallo bos, apa kabar….”. Terdengar suara yang sudah sangat akrab sekali dengan telingaku sejak aku SMA.
Saat aku melihat siapa yang menepuk bahuku, aku melihat wajah ceria Yofi temanku yang agak feminim itu sejak SMA. Tapi sekarang rupanya pembawaannya lebih maskulin dan apa yang ada di sampingnya, seorang perempuan cantik sedang menggandeng siku Yofi.

“Hai yof, sudah lama enggak ketemu. Ada apa kamu di sini”,
“Oh, ini habis ngejenguk saudara yang sakit.”
“Sepagi ini?” tanyaku heran.
“Ya sekalian aja sebelum berangkat kuliah. Lah terus, kamu sendiri ngapain?” tanya Yofi lebih heran yang melihat tampangku begitu kusut.
“Oh aku, wah ceritanya panjang, nanti aku ceritakan. By the way, cewe cakep di samping lo siapa nih?” ucapku mengalihkan arah pembicaraan.
“Ini Sifa temen kuliah gue” Kenal Yofi bersamaan aku yang sudah menjulurkan tangan ke perempuan yang bernama Sifa itu.
“Temen apa temen?, eh ada waktu enggak, kita ngobrol-ngobrol dulu ya di situ!” ajakku sambil melirik ke arah kursi kosong di salah satu sudut kantin.

Setelah memesan tiga piring nasi goreng yang ternyata kami sama-sama belum sarapan, kami banyak mengobrol ringan terutama aku yang ngecengin Yofi karena ternyata bisa punya cewe juga. Aku tidak menyangka hal tersebut jika diingat sifat Yofi yang rada-rada aneh selama ini. Terus betapa terkejutnya aku yang mendapatkan kabar bahwa Ia mendapatkan beasiswa untuk studi di US. Sebenarnya hal tersebut hanya untuk mengalihkan perhatian dari pertanyaan mengapa aku bisa berada di sini. Sampai saat aku sudah kehabisan ide sebagai bahan obrolan, Yofi kembali menanyakan perihal yang sedari tadi Ia ingin tahu.
“Terus, lo di sini ngapain pras, nungguin seseorang?” tanya Yofi pada akhirnya.
Aku menghembuskan nafas panjang yang sepertinya sudah sedari tadi ingin keluar. “Iya” jawabku singkat.
“Siapa, keluargamu?” Tanya Yofi lagi semakin penasaran.
“Bukan, aku menunggu….” Kata-kataku agak tertahan.
“ Rindia” ku tundukan kepalaku tidak berani menatap pandangan tajam dan menyelidik dari Yofi.
Yofi menghela nafas kecewa “Ahh, ternyata benar apa kata jhonny selama ini”.
Aku semakin merasa tidak enak dengan Yofi yang terdengar nada kecewa dalam suaranya.
“Jadi kamu masih menjalin hubungan dengan Rindia. Lalu bagaimana dengan….”
“Ia sudah pulang kemarin”. Terlihat Yofi sangat terkejut dengan apa yang baru saja aku ucapkan.
Sepertinya Ia sudah tahu apa yang terjadi antara aku dan Findia setelah melihat keadaanku yang sangat memperihatinkan.
“Hal ini sudah ku katakan sebelumnya, pasti akan terjadi. Ya, mau bagaimana lagi. Kalau sudah begini kamu harus menjelaskan segalanya pada Findia.” Saran Yofi dengan nada suara yang sudah tenang sekarang.
Aku mengangkat bahu tidak yakin. “Akan aku coba, Thanks”.
Yofi terlihat melirik jam tangannya dan kemudian mengamati pacarnya yang sudah selesai makan sedari tadi.
“Sorry Pras, gue sama Siva harus berangkat sekarang nih.”
“Oh iya, enggak apa-apa kok” jawabku sambil menjabat tangan Siva yang sudah bangkit dari kursinya. Saat sudah bangkit dari tempat duduknya, Yofi berjalan di sebelahku dan meletakan tangannya di bahuku.
“Sabar ya Pras, gue tahu lo pasti akan memilih yang terbaik untuk masa depan lo!” katanya sebelum ia menepuk-nepukan tangannya di bahuku dan pergi menyusul Siva.

Aku masih duduk memikirkan apa yang dikatakan oleh Yofi barusan. Ku pandangi piring di hadapanku yang sekarang isinya tinggal setengah. Tanganku memegang sendok dan terus mengaduk-aduk isinya layaknya fikiranku yang sedang teraduk-aduk sekarang. Keadaan di kantin ini sudah mulai ramai oleh orang-orang yang hampir dari kesemuanya bertampang lesu dan kurang tidur. Semua keadaan itu tidak mempengaruhiku bahkan aku tidak menyadari ada seorang pramusaji yang sedang membereskan piring bekas dipakai Yofi dan Siva tepat di depanku. Aku masih terus berfikir tentang keputusan apa yang harus aku ambil setelah ini. Hingga tanpa ku sadari aku tersenyum dan mendadak wajahku menjadi cerah kembali dan bersemangat. Segera aku berdiri dan membuat pramusaji yang sedang membereskan piring di hadapanku terkejut. “Oh sorry-sorry mbak, aaa… berapa semuanya?”.
*****

Orang ramai hilir mudik di salah satu pusat belanja Jakarta. Aku dan Rindia sekarang duduk berhadapan di meja sebuah restoran masakan Jepang pavoritku. Bertolak belakang dengan suasana di luar, di dalam restoran ini suasananya agak lenggang jadi jika berbicara sedikit agak keras saja pasti seluruh ruangan dapat mendengarnya. Udara sejuk dari Air Conditioner menyapu halus kepalaku yang rambutnya sekarang agak sedikit gondrong tidak terurus. Bergantian ku pandangi antara sukiyaki yang sudah berkurang seperempatnya dengan wajah Rindia yang semakin hari semakin pucat pasi. Nafsu makannya tidak ada lagi bahkan tempura yang sedari tadi di hadapannya hanya dipandangi tanpa disentuh. Sudah 30 menit keheningan di antara kami sejak masuk ke dalam resto ini. Ku raih cangkir teh yang ada di sebelahku dan menghirup sedikit isinya. Kepalaku mendongak menatap lurus ke wajah Rindia yang kelihatannya sedang berfikir dan kucoba tersenyum seperti tidak ada apa-apa.

“Kamu baik-baik saja rin?” tanyaku membuka percakapan.
“Ya, aku baik-baik saja kok”.
Aku tahu Ia pasti bohong. Terlihat sekali di matanya yang sekarang beradu pandang denganku bahwa ada hal yang sedang ia fikirkan.
“hmm, Pras, ada yang ingin aku bicarakan”. Akhirnya Ia akan mengutarakan apa yang Ia fikirkan sedari tadi.
Aku sudah tahu apa yang ingin Ia bicarakan, pasti tentang kejadian yang barusan ini di luar mall.
“hmmm, perempuan yang di luar tadi pasti yang selama ini kamu bilang Findia.”
Aku tak berreaksi, hanya memandangnya dalam-dalam berusaha untuk menenangkannya.
“Kulihat tatapannya tajam kepadamu dan . penuh emosi”, “Sepertinya Ia memang sangat mencintaimu”.
Kalimat terakhir yang diucapkan terdengar sangat lirih di telingaku. Tapi aku sangat jelas sekali mendengarnya dan dalam hati mengiayakan bahwa aku juga sangat mencintainya.
“Sudahlah rin, tak usah masalah antara aku dan Findi membebani fikiranmu. Sekarang satu yang aku ingin hanya melihatmu sehat dan ceria kembali. Ayo dong, makan makanannya!”.
Rindia mengatupkan jari-jari mungilnya di depan wajah seakan-akan ia tidak mendengarkan perkataanku. Lama kembali hening menyelimuti kami. Tak ada yang dapat ku katakan dan aku disibukan dengan bayangan yang melintas saat di luar mall aku keluar dari mobil bersama Rindia dan berjalan memapahnya yang masih belum menemukan keseimbangan. Selalu pada saat yang tidak menguntungkan, ku lihat Findia yang baru keluar dari mall dan menatapku tajam. Serasa menghukumku dengan apa yang terlihat olehnya. Aku hanya terdiam dan tidak berkata apa-apa melainkan pasrah dengan apa saja yang akan terjadi kemudian.

Setelah kesadaranku kembali di ruangan itu, ku rasakan udaranya masih sejuk dan keheningan masih tetap mengelilingi kami. Setelah beberapa saat, aku terkesiap dengan apa yang dilakukan oleh Rindia. Aku fikir Ia akan semakin sedih setelah tahu bahwa Findia sangat mencintaiku dan begitu pula aku. Tapi Ia meletakkan kedua tangannya di meja dan mulai menegakan kepalanya. Terlihat senyum manis yang sudah sebulan ini tidak pernah kulihat lagi. Matanya berbinar-binar dan dengan tangannya yang lembut mengambil tempura yang sedari tadi tidak disentuh untuk dimasukan ke dalam mulutnya yang indah.
“Ternyata, Findia benar-benar mirip dengan ku ya?. By the way, tempura ini enak juga, kenapa sedari tadi enggak ku makan?”.
Rindia pun tertawa kecil sambil mengunyah dengan lahap seakan-akan 30 menit waktu yang hilang sebelumnya tidak ada. Aku pun tersenyum lebar tanpa sadar. Seperti udara sejuk AC dapat menembus tempurung kepalaku dan menyapu panas yang ada di dalamnya.
*****

Jam di dashboard mobilku menunjukan pukul 08:23 Pm, saat itu kami tiba di depan tempat kost Rindia yang terlihat suram karena lampu teras yang belum dinyalakan. Aku membantunya keluar dari mobil dan menuntunnya melangkah menuju ke pintu kostannya. Di ambilnya kunci rumah dari dalam saku dan berusaha untuk memasukan anak kunci tersebut ke lubang kunci. Aku memandangi peristiwa tersebut dan menjadi semakin kasihan terhadap rindia. Koordinasi syaraf motoriknya agak berkurang karena adanya kanker otak. Tapi pada akhirnya Ia berhasil memasukan kunci tersebut dan memutarnya di dalam. Berhasil. Ia memutar gagang pintu dan terhuyung-huyung memasuki ruangan yang tidak ada penerangan sama sekali di dalamnya. Ku bantu untuk mencari saklar lampu dan menyalakan lampu di ruangan tersebut. Rindia menghenyakan tubuhnya di tempat tidur dan pada saat yang bersamaan handphoneku memainkan lagu the way you look at me dari christian bautista bertanda ada panggilan yang masuk. “Ya hallo,” Aku mengangkat panggilan tersebut dan berusaha mencari tempat duduk agar dapat berbicara dengan tenang. Rindia yang sedari tadi mengamatiku melihat perubahan ekspresi wajahku menjadi agak kesal.

Setelah menutup panggilan tersebut, rindia langsung bertanya padaku.
“Ada yang serius?”
“Oh tidak, itu tadi dari papa yang memintaku untuk datang ke US, ada hal yang harus aku bantu di sana”
“Oh begitu, kalau gitu kamu ke US juga dong?” tanya Rindia yang kelihatan sangat bersemangat.
Aku menghela nafas panjang kemudian mengangkat bahu tanda tidak tahu.
“Mungkin,”
setelah Aku mengatakan itu, Rindia kelihatannya sedikit kecewa. Sebenarnya aku sangat tidak ingin ke US apa lagi untuk menemui ayahku. Hubungan kami memang tidak terlalu dekat, itu karena kesibukan mereka dengan karirnya. ‘huh, saat membutuhkan bantuan saja menghubungi gue, tapi pas aku butuh kasih sayang, mereka tidak ada di sisi ku’ keluhku dalam hati.

“Rin, tapi tenang saja. Kamu ke US tidak akan sendirian. Kamu ingat Yofi kan?”
“hah, yofi, yang dulu sikapnya rada banci itu?” ingat Rindia.
“yes, that’s right!” kataku sambil menjentikan jari.
“Dia juga akan pergi ke Us minggu depan. Terus sekedar informasi nih, dia sekarang sudah enggak feminim lagi malah sudah punya pacar!”
“what. wah segala sesuatu di dunia ini memang tidak bisa diduga!” seru Rindia sambil bertepuk tangan.
Aku sangat senang melihat keceriaan di diri Rindia. Sikapnya memang masih kekanak-kanakan dan juga manja, tapi aku suka itu. Ia memang sangat berbeda sekali dengan Findia yang sangat mandiri dan dewasa.
*****

Di dalam kamarku yang tenang dan sejuk, Aku duduk di depan layar komputerku sedang membuka program Mozilla Firefox. Ku buka account e-mail dan mencoba membuka inboxnya. Di sana tertulis ‘You have 1 new e-mail’. Aku menahan nafas dan mencoba berharap bahwa e-mail itu adalah balasan suratku yang ku kirim pada Findia. Ku klik tulisan ‘check mail’ dan menunggu apa yang akan terjadi kemudian. Aku menghembuskan nafas panjang. Kecewa. Hanya ada 1 e-mail baru yang sendernya dari Yofi. Isinya hanya mengkonfirmasi kepastian apakah jadi menitipkan Rindia untuk ke US bersamanya dan memberi tahu waktu tepatnya Ia akan berangkat. Aku segera mengklik tulisan ‘reply’ dan mengetikan beberapa kata yaitu ‘Ok, thanks for your kindness’. Kemudian langsung klik ‘send’.

Ku tutup program Firefox dengan sekali klik pada simbol x. Pemandangan di depan mataku sekarang berganti dengan wajah cantik findia yang sudah ku katakan bahwa tak kan ada bosannya walaupun untuk seribu tahun. Ku sandarkan punggungku yang terasa berat di kursi yang empuk ini dan mencoba untuk menenangkan fikiran. Mataku terasa sangat lelah. Ku pejamkan sekuat-kuatnya dan dengan tiba-tiba membuka kembali kelopak mata itu lebar-lebar, mencoba berharap bahwa semua ini hanya mimpi dan aku baru saja terbangun dari tidur panjang. Desah nafas panjang mengiringi rasa penyesalanku mengapa aku harus terjebak pada situasi sulit seperti sekarang ini. Ku tatap dalam-dalam lagi mata indah Findia di layar komputerku dan berkata lirih “Mudah-mudahan aku membuat keputusan yang terbaik untuk kita semua, maafkan aku….”.
*****

Suatu sore melelahkan sehari sebelum keberangkatan Rindia ke US, Aku menemani rindia untuk membeli berbagai perlengkapan untuk di sana nanti. Semua atas biaya pribadiku yang ku ambil dari tabungan selama ini. Rindia tahu Ia tidak boleh menolak semua pemberianku ini, karena jika Ia tolak pasti aku akan sangat kecewa. Aku ingin melihatnya bahagia walau untuk hal yang terburuk sekalipun yaitu untuk yang terakhir kalinya. Akhirnya pada saat matahari sudah berwarna sangat merah, kami tiba di kost-kostan Rindia setelah seharian berjalan-jalan di pantai Ancol. Seperti biasa, suasana di kostan itu hening dan damai. Penghuninya yang sebagian besar karyawan kantor, biasanya baru pulang saat hari mulai malam. Aku mengikuti Rindia masuk ke kostannya dengan beberapa kantong belanjaan di kedua tanganku. Seperti anak kecil yang habis ikut ibunya berbelanja, Ia langsung mengeluarkan barang apa saja yang Ia beli dan mengaguminya satu per satu. Aku bahagia melihat Rindia yang ceria dan sifatnya yang kekanakan itu. Tak sanggup ku bayangkan jika senyuman manis itu akan hilang dari wajahnya dan tak kan ada lagi tawa riang kekanakan yang sangat aku sukai.
“Pras, terima kasih ya atas semuanya!”.
Aku terhenyak dari tempat dudukku. Lamunanku buyar dan sekarang berganti sosok Rindia yang berada tepat di depan mukaku dan duduk persis menghadapku. Tangannya sudah menggenggam erat tanganku dan wajahku terasa sangat dekat dengan wajahnya yang dihiasi senyuman kecil. Berkali-kali ku lihat tatapan mata Findia yang ada di mata Rindia yang haus kasih sayang itu. Jantungku berdegup kencang, entah karena aku sekarang berada sangat dekat dengan Rindia atau karena aku menganggap perempuan yang ada di hadapanku ini adalah Findia. Tak ada rasa apapun saat bibir Rindia mengecup halus bibirku. Aku sadar siapa yang ada di hadapanku sekarang ini. Bukan, Ia bukan My Princes Fin yang aku tahu. Tak berapa lama ia menjauhkan wajahnya dari hadapanku dan menatap mataku dalam-dalam berusaha mencari sebuah jawaban. Aku tak berani menatap matanya dan segera berdiri lalu berpamitan pulang seakan-akan tidak terjadi apa-apa antara kami beberapa menit lalu.
“Aku pulang dulu yang Rin, jangan lupa untuk siap-siap. Ku jemput besok jam 8 tepat ok, see you”
Rindia tidak mengatakan apa-apa dan aku tahu itu akan terjadi. Sebelum aku menutup pintu kamar Rindia, ku lihat air muka wajah rindia yang sangat sulit sekali ditebak apa yang sedang ia rasakan. Pandangannya mengarah ke salah satu sudut kamar yang aku tidak tahu apa itu karena aku buru-buru menutup pintu dan pergi.*

Keesokan paginya aku sudah tiba di depan pintu kamar Rindia. Arloji digitalku baru menunjukan pukul 07:45 Am, masih ada kira-kira 15 menit untuk membantu Rindia berkemas. Ku ketuk daun pintu yang masih tertutup rapat di hadapanku dan memberi salam. Tapi tidak ada jawaban. Coba ku tempelkan telinga ke daun pintu, tapi juga tidak ada suara sedikit pun dari dalam. Aku mulai merasa sedikit cemas dengan entah apa yang terjadi di dalam. Tanpa fikir panjang, aku coba dorong gagang pintu di hadapanku yang ternyata tidak terkunci. Keadaan di kamar itu redup karena tirainya belum dibuka sama sekali. Ku buka tirai yang segera cahayanya menyapu isi kamar yang ternyata kosong itu. Coba ku lihat ke kamar mandi yang pintunya terbuka dan Rindia tetap tidak ada di seluruh sudut kamar ini. Aku mulai khawatir dengan keadaan Rindia, dan berharap semoga Ia tidak melakukan hal-hal yang nekat. Mataku menelusuri seluruh bagian kamar yang seluruh isinya rapi tidak bergeser bahkan seluruh barang bawaan Rindia sudah siap di dalam koper. Di lantai kamar mandinya masih tersisa tetesan air yang berarti Rindia sudah mandi pada saat meninggalkan kamar ini. Lalu dari tirai yang belum dibuka, aku berasumsi bahwa ia pergi sebelum hari mulai terang. Kisah-kisah seru cerita detektif sekarang berkelebat cepat di pikiranku yang terus menyelidik. Ku amati lagi seluruh isi kamar ini, tidak ada yang aneh kecuali ketika kulihat ke atas meja kecil di sebelah tempat tidur Rindia. Ku dekati meja tersebut dan terlihat sebuah buku kecil yang tergeletak sembarang di atas meja. Bentuknya terlihat sangat familiar di mataku dan sesaat aku segera dapat mengenalinya apa itu. Itu adalah buku catatan yang setiap hari selalu berada di saku celanaku. “Bagaimana benda ini bisa ada di sini, pasti kemarin terjatuh saat gue mau pergi…” ucapku meyakinkan diri bahwa tak ada yang terjadi dengan buku itu. Aku tadi malam memang sangat kelelahan sehingga tidak memeriksa dulu apakah ada yang kurang pada diriku sebelum tidur. Ku amati lagi lebih teliti pada buku catatanku itu. Ada seperti bekas jari basah pada setiap halaman di dalam buku ini. Seperti ada seseorang yang telah membuka-buka isi buku ini dengan tangan yang berkeringat dan terburu-buru. Aku tidak pernah merasa melakukan hal itu, setiap ingin menambahkan isinya aku selalu membersihkan terlebih dahulu telapak tangan agar buku itu tidak lekas kotor. ‘Apakah Rindia sudah membaca semua isi buku ini?, ah tidak mungkin. Aku tahu dia!’ cemasku dalam hati.

Saat aku sedang disibukan dengan berbagai macam teori dalam fikiranku, aku dikagetkan dengan suara daun pintu yang menjeblak terbuka. Terlihat Rindia dengan nafas yang terengah-engah berdiri menyandar pada daun pintu yang membuka. Ia kelihatan sangat letih, tapi yang paling mencolok adalah ekspresi keterkejutan di matanya yang melihat Aku yang sedang menggenggam buku catatanku. Di cobanya untuk berjalan ke dalam kamar tetapi baru beberapa langkah Ia terhuyung hampir jatuh. Tapi pada saat yang tepat aku memeluknya agar tidak terjatuh ke lantai. Reaksi yang tak terduga ku dapatkan pada saat itu. Ia berusaha untuk melepaskan diri dari pelukanku dan tatapan matanya mengisyaratkan ‘Jangan beri aku harapan lagi!’. Aku melepaskan pelukanku dan Rindia berhasil untuk duduk di tempat tidurnya.

Beberapa saat aku terdiam untuk membiarkan rindia menenangkan diri.
“Kita belum terlambat kan?”
terdengar suara Rindia memecah kesunyian di antara kami. Suaranya sudah tenang sekarang dan terdengar seperti biasa lagi.
“ya, masih jam 8 kurang 5 menit. Jadi kita masih punya kira-kira 1 jam untuk sampai di bandara!”
jawabku sambil memasukan buku catatan itu ke saku celana tanpa melihat bagaimana ekspresi Rindia.

Setelah kalimat tersebut, tak ada lagi percakapan yang terjadi antara kami sampai tiba di bandara. Di dalam mobil aku hanya terdiam memperhatikan jalan-jalan Jakarta yang masih lenggang di pagi hari libur seperti sekarang dan Rindia yang menenggelamkan dirinya pada majalah yang ada di tangannya. Sesekali ku lirik ke kaca spion dan Rindia terlihat terus fokus pada majalah tanpa sesekali melirik ke arahku. Mungkin hal tersebut memang sengaja Ia lakukan untuk menghindari percakapan denganku yang masih tidak tahu pergi kemana Rindia sebelum aku datang ke Kostannya.

Setelah aku mengurus semua dokumen imigrasi, kami bertemu dengan Yofi yang ditemani oleh Sifa pacarnya.
“hai Pras, apa kabar lo?, hai rin, bagaimana sudah sehatan?”
Yofi yang segera menjabat tangan Rindia setelah sebelumnya menepuk punggungku. “Ya sudah agak baikan, nanti aku minta bantuannya ya selama berada di US!”
pinta Rindia lembut.
“Wah-wah-wah, berarti aku ditemani oleh dua cewe cantik nih diperjalanan!” terlihat kedua alis Yofi terangkat dan tawa renyah yang semakin meledak ketika Siva menyikut pinggangnya.
“Hai lihat tuh Sifa jadi jealous abis gitu. Terus buat lo Yof, kalo berani macam-macam,” aku memberinya kode jari telunjuk yang bergerak mengiris di depan leher. Yofi pun tertawa kembali dan aku ikut tertawa kecil. Di sela-sela itu, aku melirik ke pada Rindia yang menatap kosong seperti menerawang jauh tentang masa depannya nanti yang akan sangat suram. Sepertinya Ia tidak terpengaruh sama sekali dengan tingkah laku Yofi yang masih konyol sedari dulu. Ia seperti sedang menunggu sebuah peristiwa besar dari keputusan yang sangat menyakitkan.

Setelah tawa Yofi mereda, terdengar suara pengumuman bahwa pesawat jurusan ke New York yang akan ditumpangi oleh Yofi, Rindia, dan Sifa akan segera berangkat dalam beberapa menit lagi. Aku mengantar kepergian mereka sampai pada tempat orang diluar penumpang diizinkan lewat. Untuk beberapa saat, rindia akhirnya menatap mataku dalam-dalam. Sungguh hal yang sangat tidak aku inginkan, sepertinya aku sudah membuat luka dalam pada hatinya yang tidak akan termaafkan. Aku menjulurkan tangan ingin bersalaman sebagai tanda perpisahan kami. Tapi ia tidak bereaksi, Ia tetap menghujamiku dengan tatapannya yang menyakitkan. “Pras,” ucapnya pada akhirnya. “Ya rin,” jawabku singkat berusaha setenang mungkin. “Terima kasih atas semuanya, aku yakin kamu pantas mendapatkan yang terbaik…” ujarnya tanpa ekspresi. Telapak tanganku masih menggantung tak ada respon. Ia segera berbalik tanpa ada kata perpisahan ketika Yofi menyentuh bahunya agar mengikutinya menuju pesawat. Terlihat Yofi mengerlingku dan matanya mengatakan ‘sampai jumpa lagi friend, ia akan aman bersamaku’. Ku tarik kembali telapak tanganku yang kaku tak tersentuh Rindia. Mataku terasa panas tak sanggup lagi menahan butir-butir air yang siap meluap. Tak tahu aku harus merasa apa. Apakah aku harus sedih karena kehilangan seseorang yang aku sayangi entah itu kehilangan untuk sementara waktu atau selamanya. Atau bahkan aku harus senang karena hal yang menghalangi hubunganku dengan Findia sudah berakhir.

Aku berusaha keras menahan air mata yang sudah hampir tumpah. Sebagai laki-laki aku harus tegar, ini baru awal dari perjuangan yang sekarang aku harus bisa mendapatkan cinta findia lagi. Saat ku lihat punggung Rindia sudah tidak terlihat lagi di dalam jangkauan mataku, aku hendak berbalik dan pergi ketika ada sentuhan lembut di bahuku. Saat ku lihat siapa yang ada di belakang ku, aku melihat Rindia yang tersenyum manis sekali. Pada saat itu otakku tidak berfungsi dengan baik. Ku alihkan pandangan ke arah di mana Rindia berjalan dengan Yofi tadi, dan aku tidak melihat mereka sama sekali. Sekarang Di hadapanku berdiri seorang wanita mirip dengan Rindia tapi dengan pakaian yang berbeda. Ah betapa bodohnya aku tidak menyadari yang sedari tadi ada di hadapanku ini. Ia Findia. Rupanya Ia sudah berdiri di belakangku saat aku melepas kepergian Rindia. Tatapan kosong Rindia bukan tanpa arti, Ia menatap Findia yang tatapannya penuh cinta kepadaku.

“Fin, itu kamu?” kata-kataku terbata-bata seperti anak SMA yang baru mengenal cinta pertama. “ya pras, ini aku. Aku menepati janjiku untuk kembali kepadamu” kata-katanya tenang penuh kerinduan yang semakin membuatku tak tahu harus berbuat apa di depannya. Aku tak yakin apakah Ia sudah mengerti dengan semua keadaan ini dan akan memaafkanku sampai aku mendengar ia berkata. “Aku mencintai mu….” Kata-kata itu terucap lirih olehnya. Tapi sangat berarti dan langsung menggairahkan lagi semangatku yang sebelumnya sudah hancur berkeping-keping. Jantungku berdegup kencang, darahku berdesir cepat sampai ke wajahku. Mengikuti kata hati, ku lingkarkan tanganku ke pinggang Findia yang ramping. Ia membalas pelukanku erat alih-alih menolaknya. Sekarang wajah kami hanya beberapa cm berada di dekatnya. Aku bergerak maju untuk menciumnya dan detik demi detik di arlojiku serasa berjalan selambat gerak daun menyongsong matahari. Ku rasakan gairah cinta yang menggebu di saat itu. Setelah detik demi detik berjalan normal kembali, ku lepaskan ciumanku dari bibir Findia. Ku dengar tepuk tangan riuh dari pengunjung bandara yang ternyata sedari tadi berkerumun memperhatikan kami. Tak ada rasa lain di hatiku pada saat itu, selain cinta. Kami saling memandang sejenak dan kemudian tertawa bersama menyadari hal bodoh yang baru kami lakukan. Aku yakin, ini bukan akhir. Tapi awal dari semua kebahagian kami.
*****

Di kamar tidurku yang seperti biasa selalu rapi dan bersih, aku duduk santai di depan layar komputerku. Sesekali ku lihat wallpaper desktop yang gambarnya sudah berubah dari sebelumnya. Sekarang gambar itu adalah adegan pada saat aku dan Findia berciuman di tengah kerumunan banyak orang di bandara. Gambar itu diambil oleh seseorang yang ternyata satu kampus denganku. Orang itu memang hobi banget nonton film, jadi tahu peristiwa-peristiwa penting dan penuh emosi yang menurutnya harus didokumentasikan. Aku diberi file imagenya dari handphone yang ia gunakan untuk memotret. Melihat gambar itu, satu sisi aku sedikit malu dengan banyaknya orang yang melihat kami. Tapi di sisi lain aku bahagia karena dapat melihat bagaimana ekspresi Findia pada saat aku menciumnya dari foto tersebut. Terlihat rona wajahnya sangat bahagia dan tiada dendam yang melintasi.

Ku alihkan sekarang perhatian ke webmail yang sekarang terbuka di komputerku. Di sana menyebutkan bahwa aku memiliki 1 e-mail baru yang belum terbaca. Segera ku buka dari mana e-mail tersebut yang ternyata berasal dari Findia dan tangal kirimnya adalah satu hari setelah aku membuka e-mail yang ku dapatkan dari Yofi. Isi e-mail itu menyebutkan bahwa Ia sudah mendengarnya semua dari Yofi dan masih berusaha untuk dapat mengerti dan memaafkanku. Ia sudah tahu alasannya mengapa aku selama ini terus menemani Rindia. Kemudian di akhir suratnya, Ia menyatakan keheranannya mengapa dia dan Rindia begitu mirip dari keadaan fisik.
Setelah membacanya sekali lagi, ku tutup account webmail ku dan merebahkan diri di kursi yang empuk ini. Aku berfikir sejenak, memang benar Findia dan Rindia benar-benar mirip secara fisik. Jangan-jangan mereka ada hubungan…. Ah, aku tidak mau memanjangkan cerita ini lagi untuk diriku. Oh Princess Fin, kaulah sirip yang akan membawa pangeranmu ini ke alam surga. Berakhir indah, di akhir cerita.

THE END

0 comments:

Posting Komentar

mohon untuk mengisi komentar